Arbela.
Aku mengenalnya sudah lebih dari satu setengah tahun yang lalu. Ialah gadis
utusan dewi yang sempat menemaniku. Gadis sempurna yang telah bertahan lebih
dari 360 hari menggenggam erat tanganku.
Namun hari-hari indah itu telah usai. Aku salah, tak ada yang sempurna.
Bahkan untuk seorang dewi Aphrodite pun memiliki kekurangan. Pun dengan Arbela.
Selama
ini bibir merahnya begitu manis. Mata birunya selalu syahdu menatapku. Namun
aku telah salah. Aku telah terbelenggu oleh kecantikannya sesaat. Tak
kupedulikan betapa racunnya dirinya. Tak kupedulikan betapa manusia itu bisa
bertindak seperti ular. Tanpa sengaja aku menemukan beberapa pesan dari pria
lain di telephone genggamnya. Tunggu pacar lainnya maksudku.
Mengetahui
hal seperti itu rasanya seperti merobek kertas. Namun bayangkan bila kertas itu
adalah hatimu. Sakit bukan? Butuh waktu yang tak sebentar untukku melupakan hal
seperti itu. Cukup trauma aku dalam menjalin hubungan, hingga setahun kemudian
kejadian tak sengaja di Celinston Station merubah semuanya...
Kini
telah bulan kedua aku mengenal Ariadna. Dia selalu mengisi hari-hariku. Tak
hanya hari-hariku yang mampu ia isi. Begitu juga ruang kosong di hatiku. Ia
mampu menyembuhkan luka yang selama ini kusimpan.
Munafik
bila aku mengatakan tidak menyayanginya. Jelas aku menyayanginya. Namun rasanya
selalu saja ada tembok yang menjadi penghalang untukku mengungkapkan perasaan
padanya. Namun, ah sudah lah. Biarkan itu mengalir seperti air saja.
Cinta
itu tak selamanya suci. Tak selamanya jernih. Tak selamanya pula ia putih.
Terkadang cinta bisa menjadi sangat begitu gelap. Ya seperti yang kurasakan.
Aku memiliki sifat yang mungkin sedikit susah untuk ditolerir. Sifat itu tumbuh
sendiri setelah aku meninggalkan arbela. Posesif.
Hari
ini awal bulan April seperti biasa aku akan menghabiskan waktu malam ku bersama
Ariadna. Hari ini aku berencana mengajaknya makan. Ya lagi-lagi makan malam
dibawah sinar bulan. Entah mengapa sepertinya membosankan. Namun ketika aku
bersamanya tak ada kata bosan.
Seperti
biasa makan malam hanya dihabiskan untuk sekedar bercerita tentang aktivitas
kami masing-masing. Sambil sesekali kami tertawa akan kelucuan yang dibuatnya.
Sesudah makan aku berjalan mengantarnya pulang.
Diantara
jalanan st.Ventura kami masih asik mengobrol. Tanpa terasa blok 13 rumah
Ariadna sudah tampak. Malam itu udara terasa sangat dingin di awal bulan april.
Berkali-kali Ariadna mengepal-ngepalkan tangan kemudian memberi uap dari
mulutnya. Melihat hal itu tanpa sadar aku menggenggam tangan Ariadna dan
memasukan ke saku jaketku. Ada sesuatu yang sangat canggung saat itu. Aku dan
Ariadna saling menatap satu sama lain. Entah matanya berbicara apa aku hanya
memandangnya bingung. Jantungku berdegub kencang. Entah angin sekencang apa
yang mendorong bibirku mendekati Ariadna. Ariadna sudah terpejam erat. Namun saat
bibirku hampir menyentuh bibirnya ku urungkan niatku. Kucium pipinya. Tiba-tiba
saja Ariadna tersenyum lebar dan membuyarkan situasi tidak biasa ini. Aku pun
ikut tersenyum.
Tiba
disaat aku dan dia harus berpisah. Ia sudah memasuki flatnya. Dan aku hanya
bisa menatap ujung scarfnya dari belakang. Sesampainya aku di kamar. Aku
merenungkan sesuatu. Ariadna. Aku terlalu mencintainya. Rasa sayang ini begitu
menggebu. Aku takut akan rasa sayang. Karena itu hanyalah permulaan dari rasa
sakit yang mendalam. Sepertinya dia juga menyayangiku. Aku belum siap untuk
semua ini. Aku belum siap untuk apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku masih
terlalu posesif.
Pikiran
bodoh dari mana ini berasal. Apa yang harus aku pikirkan, apa yang harus aku
takutkan. Bukankah aku dan dia saling cinta. Persetan. Aku takut dengan cinta.
Aku takut akan lubang-lubang dalam itu. Setelah aku berfikir cukup lama. Aku
berdoa pada Aphrodite. Aku takut ini hanya ujian yang diberikan oleh-Nya. Aku
takut Ariadna bukanlah benar-benar kiriman dewi. Aku takut ia seperti Arbela...
Tepat
pukul 00.00 aku memutuskan untuk meninggalkannya. Maafkan aku Aphrodite.
Maafkan aku Ariadna.
---
“Hoaammm”
Kututup mulutku sambil menguap lebar-lebar. Sepertinya hari ini cerah. Kuambil
telphone genggamku. Berharap ada pesan dari Aidos. Ternyata tidak ada.
Sepertinya ia belum bangun.
“Selamat
pagi Aidos, have a great day ;)” kukirim pesanku dan berharap ia segera bangun.
Aku
berangkat kuliah. Pagi ini rasanya berbunga-bunga sekali. Mengingat Aidos
membuatku dapat melupakan betapa pendeknya waktuku untuk mengerjakan skripsi.
Namun sepertinya Aidos lebih penting daripada itu. Tubuhku memang duduk di
bangku kelas ini. namun pikiranku melalang buana. Mencari imajinasi tubuhnya. Bibirnya
yang semalam menyentuh pipiku.
Sudah
waktunya makan siang. Namun belum kunjung tampak balasan dari Aidos. Aku mulai
kebingungan. Sakit kah dia? Ku cek setiap media sosialnya. Sepertinya dia online. Apa memang pesan pending. Ku sapa dia melalui salah satu
jejaring sosial.
“Hay Aidos..” Satu
menit... Dua menit... Tiga menit.. dan 30 menit kemudian. Tak kunjung ada
balasan. Bahkan kini statusnya offline.
Hatiku gelisah. Kini ingin rasanya aku berlari menghampiri rumah Aidos yang tak
jauh dari blok ku tinggal. Namun..
Lagi-lagi perasaan ini.
berkali-kali aku mencoba kembali mengirim pesan namun. Sudahlah sepertinya ia
ingin pergi. Sepertinya ia ingin sendiri. Tak ingin bersamaku lagi. Aku berlari
menuju flat dan mengunci kamarku. Entah perasaan apa ini yang menjalar. Dia memang
bukan siapa-siapa. Bukan kekasih. Atau apalah itu. Namun entah mengapa ketika
dia pergi meninggalkanku. Aku merasa sangat kosong. Bingung. Dan rasanya
sakit..
Kini jam dinding
menunjuk angka 11 malam. Aku masih terpaku, terdiam mematung memandang tembok
kamarku. Berusaha menghilangkan kenangan-kenangan itu. Padahal baru sehari aku ‘berpisah’
namun rasanya. Sehari tanpa kabar aku sangat rapuh..
“Tingg” suara notifikasi
dari telephone genggamku. Cepat-cepat ku ambil dan mataku berbinar. Berharap
itu adalah Aidos. Dan ternyata itu adalah Gavin.
“hufff” aku menghela
nafas panjang. Siapa Gavin. Sepertinya hanya teman lama. Ada keperluan apa dia
menghubungiku. Waktu tidak tepat.
“Hai Ariadna J”
pesan singkat darinya diikuti tanda smile.
Akupun membalasnya dengan enggan. Lalu dengan cepat ia membalas lagi pesanku. Kubalas
lagi. Dan ia membalasnya. Begitu seterusnya hingga waktu bulan sudah habis
bersinar akhirnya kami menghentikan kegiatan itu.
Tanpa sadar aku sedikit
melupakan Aidos. Tidak aku belum melupakannya. Belum. Gavin bukanlah
siapa-siapa ia hanya teman. Namun kedatangannya sedikit tepat. Tepat disaat aku
membutuhkan ketepatan dalam hubungan. Setidaknya ia mampu memberikan sedikit
kehangatan diantara kelembab-an dikedua pelupuk mataku.
Aku masih merindunya. Aku
masih mencandunya. Dalam doaku aku menyelipkan namanya.. Aidos. Entah kepada
siapa aku berdoa sekarang. Tak lagi kepada Aphrodite. Aku lebih memilih
Dionisos sang dewa anggur, pesta dan kesenangan. Berharap ia mampu menuangkan
setetes anggur kesenangannya untukku.
Sudah tiga hari lebih. Aku
berusaha melupakannya. Mengganjal hati ini dengan Gavin. Bukan maksudku untuk
pelampiasan, bukan. Aku sudah dua kali bertemu dengannya. Pria itu cukup
menawan. Kulit putih bersih dan sesosok yang maskulin. Aku nyaman bersandar di
lengannya. Aku menghargai hatinya. Aku ingin membeli tawanya yang renyah itu. Sepertinya
cinta itu rumit, entah kepada aku jatuh cinta. Kelopak mawar tak selalu jatuh
kebawah. Terkadang ia terbang terbawa angin dan hinggap ditempat yang lebih
tinggi. Pun dengan cinta ini. rasa nyaman itu menjalar dari berbagai sudut. Semua
sama. Sama-sama menyusup kedalam hati ini.
Malam ini aku dan Gavin
kembali bertemu. Kami menghabiskan makan malam di Restaurante E’violi. Salah satu
restauran eropa yang terkenal dnegann suasana alaminya. Saat memasuki restauran
itu. Penuh dengan bunga lavender. Bau yang sangat khas itu dapat membuat mata terpejam
hanya sekedar menikmati baunya. Kami makan di rooftop. Tempat favorit ku
memang. Makan di bawah rembulan, namun itu sedikit menyakitkan bila mengingat akan
hal itu. Untunglah hari ini cuaca sedikit mendung. Bulan dan bintang tak
tampak. Semua gelap. Pelan-pelan aku bersyukur dalam hati atas apa yang orang
lain tidak syukuri malam itu.
Diantara lilin-lilin
berpendar aku memerhatikan raut muka Gavin. Tawanya serta mimiknya yang
membuatku diam. Begitu memukau diterpa pendar cahaya lilin.
“Tingg!” Suara
notifikasi telephone genggamku membuyarkan pandanganku dan menghentikan tawa
Gavin.
“Dear Ariadna...
Maafkan aku. Ada hal yang tak bisa kujelaskan..” sebuah pesan masuk. Aidos! Pesan
yang kutunggu berhari-hari lamanya.
“Pesan dari siapa?”
tanya Gavin.
“Bukan. Bukan dari
siapa-siapa..” jawabku datar. Tiba-tiba saja aku ingin pulang, ada berbagai
perasaan aneh yang berkecamuk. Dan aku meminta Gavin mengantarku pulang. Pesan
Aidos? Tentu saja sudah kubalas dengan singkat.
Tiba dipersimpangan
blok tempat Aidos mencium pipiku. Gavin yang erat menggenggamku kemudian
beralih merangkulku. Terdengar suara petir bersahutan. Sudah waktunya dewa Zeus
bekerja. Sepertinya akan hujan besar malam ini.
Tanpa sempat membiarkan
detik berfikir dan menit melaju. Air pun segera turun dengan deras. Saking derasnya
ia tak menyempatkan kami berteduh barang sesaat. Akhirnya aku dan Gavin
berlari-lari kecil menuju flat. Sesampainya disana kularang dia untuk pulang,
dan kuminta ia berteduh dulu dalam kamarku.
Kunyalakan lampu ruang
tamu. Suasana yang seketika terang membuat kami tampak konyol. Berbalut basah
disetiap sudut badan kami. Lalu kami memandang dan saling tertawa. Aku mengambilkan
handuk untuk Gavin. Rasanya badanku sedikit menggigil kali ini. saat aku
memberikan handuk itu. Tiba-tiba Gavin menolaknya dengan halus kemudian
memelukku. Aku tak sempat menolak. Bahkan aku tak ingin menolak, rasanya
hangat.
Dia memelukku erat. Kemudian
mengangkat kepalanya dan menatapku dalam. Aku melihat mata birunya indah,
sangat indah dilihat dari dekat. Tiba bibirnya mencium bibirku. Aku hanya diam
menikmatinya. Tak hanya bibir kami yang beradu, sedikit demi sedikit lidahnya
mulai meramaikan ciuman itu. Tak mau kalah aku sedikit menggigit kecil bibirnya
yang ranum itu.
Kurebahkan badannya
yang basah di sofa. Pelan namun pasti dia mulai membuka bajuku satu persatu. Kubalas
perlakuan itu, dan ku buka bajunya. Tangannya mulai menari-nari mencari mainan
untuknya sendiri. Kemudian memainkan dengan gerakan-gerakan yang tak bisa
kupungkiri betapa nikmatnya hal itu. Kubiarkan ia mennikmati dadaku, sedangkan
bibirnya masih menggeliat di leherku. Aku hanya mampu menderu dalam desah yang
tak tertahan ini.
Kilat berkali-kali
menyorot kami dari bilik-bilik jendela maupun ventilasi, namun aku bahkan tak
menghiraukan hal itu. Petir puluhan kali menyambar, sepertinya hujan sangat
besar diluar sana. Tapi bahkan aku acuh kepada cuaca itu. Aku masih menikmati
perlakuan Gavin. Kami berdua saling menerkam, mencari kehangatan. Tak pedulikan
lagi apa yang terjadi esok. Lupakan segalanya, karena segala kenikmatan ada
dalam genggaman kami.
“Blaarr!!” bukan, bukan
hanya suara petir kali ini. lebih tepatnya adalah suara pintu terbuka yang
berbarengan dengan gelegar petir yang menyambar. Aku dan Gavin dengan posisi
seperti itu kaget bukan main. Setengah mati aku menoleh ke arah pintu. Kuharap hanyalah
angin yang membukanya. Namun tidak, ada sesosok dalam bayangan kilat berdiri
disitu.
Aidos!!
Terlihat sesosoknya
bagai hantu yang menghilang namun kini muncul kembali. Raut mukanya memendam
amarah. Mendengus kesal. Namun semua itu hanya tampak pada mata coklatnya. Karena
bahkan ia hanya mematung dan belum berkata apa-apa. Buket bunga yang
dipeganngya basah dan dijatuhkan dilantai begitu saja. Seperti air yang ikut
jatuh di antara baju dan rambutnya yang basah kuyup.
“Maaf aku mengganggu..”
kemudian dia pergi menutup pintu.
Ah apa yang kulakukan,
bahkan aku masih saja mematung diam dan tak percaya. Aku mengumpulkan semua
kekuatan yang kumiliki. Ku ambil handuk yang berada dilantai, kulilitkan
ketubuhku dan aku berlari menuju pintu. Berharap ia masih menunggu disana. Namun
sia-sia ketika kubuka pintu, hanyalah ada hujan dan petir yang mengaum hebat. Tak
tampak lagi bayangannya. Hanya lirih terdengar suara derap kaki yang menginjak
air dan berlari menjauh.
“Aidooooooos!” aku berteriak dan jatuh terduduk dekat dengan buket bunga pemberiannya.
Bunga mawar biru, tulip
merah dan marigold putih.. ada secarik kertas bertuliskan “sorry” basah dan terkulai. Perasaanku hancur. Tak kuasa lagi aku
menumpahkan air mata. Gavin datang kemudian memapahku kembali kedalam. Aku hanya
terdiam walau berkali-kali Gavin menanyakan siapa dia, atau kenapa dan
lain-lain. Aku meminta maaf kepada Gavin dan meminta ijin aku hanya ingin
sendiri. Aku tak tahu mengapa rasanya seperti ini, bahkan Aidos bukan kekasihku. namun melihatnya mengetahui apa yang kulakukan seolah-olah aku menjadi butiran pasir yang siap terseret ombak tanpa daya.
Aku memasuki kamar. Aku
terkulai lemas. Aphrodite.. Maaf kan aku. Aidos Maafkan aku...