Dalam
senandung senja yang merona. Jinga-jingga berlarian dalam angkasa, membuat
langit tampak kabur akan jati dirinya. Entah itu biru, putih, jingga atau merah,
Angkasa tampak seolah tak peduli akan warna tubuhnya. Kini Aku memandang atas
sana. Hanya tatapan kosong yang menderu desah. Menatap satu-satunya
penghubungan antara kami. Kurasa aku kini telah menjadi dewasa. Namun mungkin
itu hanyalah halusinasiku.
Kenyataannya?
Aku masih terduduk bisu disini memeluk rapat sendu yang tak kupahami ini. Di sela-sela
taman diantara sudut bangku yang kosong. Memikirkan bagaimana mencintaimu
dengan jarak. Mungkin cinta memang tak pernah sempurna. Seperti pelangi yang
tak sempurna, indah memang. Sayang dia hanya setengah lingkaran. Lalu aku
memikirkanmu, memikirkan jauh dalam angan terjal yang menyudut. Memikirkan semua
perkataanmu. Sampai aku terhenti disatu sudut renungan yang kutunggu. Jadilah
Penyabar.
Menjadi
penyabar seperti maumu terlampau sukar untuk kujalani. Sederhana saja, aku
mempunyai rindu yang menumpuk. Aku mempunyai sela jari kosong untuk menggenggam
rapat jemarimu. Bahkan Aku punya tubuh hampa untuk memelukmu. Namun apa daya. Cinta
juga punya keterbatasan. Aku hanya mampu menggenggam rapat ponselku ketika aku
merindumu.
Menjadi
penyabar itu munafik yang terelakan. Disatu sisi hati menunggu dengan pasrah,
disatu sisi cinta bergejolak dengan hebat. Lantas apa yang dapat diperbuat? Hanya
takdir Tuhan yang mampu menjawabnya. Tapi apa lagi-lagi Aku harus pasrah dan
menyerah? Mungkin kali ini tidak seperti itu. senja masih berkelumat dengan
hebat. Jasadku masih terpaku dibawahnya. Namun tidak dengan pikiranku yang
melayang kepulau seberang.
Menjadi
penyabar terkadang tak sabar. Siapa sekarang yang bisa menjadi penyabar
diantara lomba lari dan menjuarai kecemburuan yang menggebu? Tak ada bukan. Atau
siapa yang bisa menjadi penyabar dilintas balap akan nafsu yang membara dengan
hadiah sebuah ciuman hangat darimu? Tak ada! Jadi aku tak mau lagi jika harus
menjadi penyabar untukmu, untuk cinta kita.
Menjadi
penunggu, itukah semestinya. Jika saja sabar bisa lebih lama bertahan denganku.
Mungkin inilah cara paling ampuh. Ya menunggu. Menunggu hingga tali-temali surga
mengikat kita dalam persatuan. Menunggu hinga jari-jemari kita saling
menggenggam satu sama lain. Hingga bibir kita rapat sehingga hanya detak
jantung yang masih berlomba berdegub kencang. Aku menunggu saat itu. Saat
dimana jiwa kita terpasung kaku berhadapan tanpa ada suara- tanpa ada kata. Hanya
rindu yang berjubel keluar dari raga ini.
Menjadi
cintamu adalah kesabaran untukku sendiri. Ya mungkin Aku tak bisa menjadi
penyabar seperti katamu. Namun aku bisa berbuat apa lagi? Aku hanya sabar
menunggumu datang dari jauh sana. Menunggumu pulang dan kembali meraih
kemenangan atas waktu dan jarak yang kita kalahkan nanti. Mungkin disini Aku
hanya sendiri. Namun ketika melihat angkasa. Aku sadar. Ada Kamu yang selalu
menemani.
Senja kini
telah beralih. Meninggalkan bulan dengan senyumannya. Kini aku harus beranjak. Aku
tak lagi ingin menyerah dan pasrah. Aku harus mengumpulkan uang untuk menemuimu
bukan. Ya aku akhirnya tahu apa yang harus kuperbuat. Mungkin tak sekarang,
mungkin bukan besok atau minggu depan. Tapi percayalah. Cinta kita pasti
bertemu tanpa ada embel-embel jarak maupun waktu..