Sebait Rindu di Balik Awan Malam





                Senja berbaris pilu. Merunduk lesu karena hari ini akan berakhir sendu. Awan bergerak kelam, mencoba membaurkan jingga dengan hitam. Hingga mentari dan semuanya lenyap ditelan bintang. Kini malam tampak sempurna, lengkap tanpa kurang satu bintangpun untuk menemani rembulan. Seikat duka datang dari seorang yang menamai dirinya dengan senyuman. Namun untuk hari itu, untuk malam itu ‘Senyum’ bukanlah hal yang tepat untuk dibicarakan didekatnya. Berceritalah sebatang rumput yang menghitam disebuah pekarangan rumah. Disamping jendela sebuah kamar ia mendengar semuanya. Tak sabar ia menceritakan pada angin-angin yang hanya mampu berbisik sunyi sedari tadi.

            Dengan berat kulangkahkan kaki ini menuju kamar. Aku tak tahu langkah  kaki ini tertuju. Namun terselip rapat bahwa disudut itu aku ingin berdiri. Tepat disamping jendela yang menghadap langsung kepekarangan terdapat sebuah bingkai berbentuk oval dengan ukiran-ukiran kecil disekelilingnya. Tak terlalu klasik untuk ditunjukan dan tak tampak modern untuk dibicarakan. Bingkai emas itu berukuran panjang 80 x 30 cm. Cukup besar untuk ukuran sebuah cermin yang terbungkam rapat didalamnya.

            Aku menarik nafas panjang saat Aku tiba dihadapan cermin ini. Jelas sudah tercetak aku didalamnya. Pantulan sempurna diriku sendiri. Entah untuk apa Aku melihat diriku dipantulan itu. namun jelas, aku ingin melihat diriku tanpa sebuah hati. hanya sebuah replika untuk mereflesikan apa yang ingin Aku tunjukan pada mereka. Bukan berarti Aku mengenakan topeng. Namun hanya saja Aku tahu, Aku hanyalah seorang lemah yang bersembunyi dibawah lengkungan bibir ini. sekarang Aku melihat lagi cermin itu. menatapnya lekat-lekat. Aku menghela nafas panjang kembali, Aku terlalu kalut untuk memandangi diriku sendiri saat ini. Aku ingin bercerita, Aku ingin meluapkan emosi ini namun Aku tak tahu pada siapa aku harus mengutarakan segalanya. Mungkin cermin ini adalah jawabannya. 

            Ya sekarang Aku akan menceritakan semuanya pada diriku didalam cermin sana. Entah harus memulai dari mana cerita ini, kuharap kau mengerti.  

            Aku tahu, Aku tidaklah sempurna. Jauh bila dibandingan oleh harapan-harapannya, namun bukan berarti Aku tak berusaha menjadi apa yang ia inginkan. 

            Aku tahu, Aku hanyalah Aku, bukan dia, bukan siapa yang ia sering bicarakan. Tapi bukan berarti Aku tak pernah berusaha untuk merebut perhatiannya. 

            Aku tahu, Aku kekasihnya. Hanya saja Aku tak tahu apakah Aku telah membuatnya bahagia atau bahkan sebaliknya. Namun bukan berarti aku tak berjuang membahagiakannya. Setiap detik Aku bernafas Aku selalu berfikir bagaimana caranya agar dia bahagia di sisiku.

            Aku tahu, Aku sebuah ulat diantara kupu-kupu, Sepertinya hampir tak pernah membuatnya bangga. Tapi tunggulah Aku sedang metamorfosis, kumohon tunggulah Aku akan menjadi kupu-kupu sepertinya

            Aku menghentikan ceritaku. Menatap lagi kedalam rongga matanya, menatap jauh didalam pupil matanya yang mengembang hitam. 

“Mengapa matamu sekelam malam wahai diriku dalam cermin. Sebenarnya apa yang kau rasakan. Apa kamu memiliki hati seperti Aku?” Jika boleh Aku ingin melanjukan ceritaku. Aku tak sabar menyelesaikannya, tapi Aku tak tahu apa Aku sanggup menceritakan semuanya. 

            Kini rasa pahit yang telah lama kubuang jauh itu seperti menghampiri kembali. Jauh dari sebuah kata yang pantas untuk kubicarakan. Namun, Aku kecewa. Aku kecewa kepada diriku sendiri. Ya jujur sekali Aku kecewa, Aku belum bisa membuatnya bahagia, Aku masih belum bisa menjadi apa yang ia inginkan. Tapi rasa kecewa itu tak berhenti disini. Aku kecewa dengannya. Aku menemukan sebuah kebohongan yang entah untuk apa namun aku merasa, entahlah. Mungkin Aku hanya berlebihan. Jika saja Aku bisa....

            “Tunggu! Cermin Aku enggan menatapmu seperti itu. Apa yang terjadi cermin. Mengapa kau tak cerita saja kepadaku. Aku siap mendengarkan ceritamu. Mengapa kau menangis. Aku tak mau melihatmu menangis!” sekarang tak hanya matanya, namun wajahnya menjadi sekelam malam. Aku benci melihatnya seperti itu. Terutama itu adalah Aku. 

            “PRANGG!!” kukepalkan tangan kananku menuju cermin dan terakhir kulihat tangannya menuju arah yang sama dengan tanganku. Hingga tangan kamipun bersentuhan dan akhirnya kaca itu menjadi kepingan-kepingan yang mulai jatuh. Beberapa yang masih menempel masih memantulkan bayang wajahku yang retak serta beberapa tetes darah dicermin. 

            “haaaaaah haaaah” Aku terbangun dan terengah-engah. Ternyata tadi hanyalah mimpi. Sekali lagi kupastikan cermin yang ada sudut kamarku ternyata masih dalam keadaan utuh tak kurang satu serpihpun.

            Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tangan. Membenamkannya semakin dalam dan dalam. Hanya isak yang mampu membuktikan bahawa Aku masih hidup dan bernafas. Kini kutumpahkan semua air kelemahan itu. Kubuang semua, kualirkan dengan deras menuruni pipi dan dagu hingga disela-sela jari tangan yang menutupinya. Hingga akhirnya Aku lelah dan segera menghapus sisa-sisanya. Aku berdiri dan beranjak dari ranjang ini. Kubuka jendela kamarku dan Aku menatap bulan diatas sana. Kemudian Aku mengingatnya, Desember 2014.

            Mungkin kamu masih terjaga dalam mimpimu. Namun Aku disini menatapmu dari balik awan, menatap langit yang sama seperti langit milikmu. Kali ini bulan purnamalah yang terpilih untuk muncul. Ingatkah kamu bahwa kita sering menatap bulan purnama bersama. Mungkin kamu tidak sadar namun sudah berapa purnama kita lewati? 

            Terlalu banyak hal yang membuat kita bertengkar, kita seringkali bertengkar hanya masalah sepele. Namun apakah kamu ingat berapa banyak hal sepele yang membuat kita terbahak, tertawa bersama tak peduli ada dimana. Aku hanya mampu mengehela nafas saat mengingat wajah itu. Dan kini aku hanya mampu memejamkan mataku berusaha mengingat kembali suara dari gelak tawamu. Berapa banyak uang yang harus dibayar untuk membeli riuh tawamu. Aku ingin sekali mendengarkannya setiap saat.

            Kadang kala Aku dan kamu sama-sama bersikap egois. Namun berapa egois yang telah kita luruhkan hanya demi sebuah keselamatam, kesenangan dan kenangan. Entah berapa ego yang kau tundukan hanya untuk dapat melihatku tersenyum. 

            Aku ingat wajah masam itu. Raut mukamu saat apa yang ingin kamu hendaki namun tak terjadi, atau betapa menjengkelkannya diriku. Tapi ingatkah kau wajah riangmu ketika canda adalah sebuah labirin yang menyesatkan kita. Atau ketika kamu sedang menyanyikan lagu yang membuat bibirmu mengembang lebih indah. Aku mengingat semuanya.

            Aku mengingat dingin yang menjadi alasan untuk Aku dapat memelukmu erat-erat. Aku ingat betapa kosongnya sela jari ini tanpamu. Tentu Aku takan melupakan betapa nikmatnya bibirmu. Satu lagi. Aku ingat, Aku sedang merindumu saat ini.