Jatuh aku berlabuh ditepian hati seseorang disebrang sana. Awalnya aku ragu. Karena jarak yang tak biasa, karena jaringan komunikasi yang tiada tahu sebaik apa. Aku masih ragu. Namun itu hanya permulaan dari sebuah kisah ini. Aku menjalani saja, semua hubungan dibalik awan dan diantara paparan sinyal. Hanya bermodal nekad dan sebuah hati sebagai taruhan kami menjalani hubungan ini.
Aku
dan dia terus berlari menerabas ego dan cemburu. Kami sadar jika harus melewati
halang rintang bernama rindu, kami sadar. Namun yang tak kusadari adalah aku
telah memberikan sebuah rasa yang tak biasa ku berikan kepada sembarang orang.
Rasa itu adalah Percaya. Aku harus mempercayainya...
Bulan
sembilan, bulan sepuluh dan bulan sebelas. Sudah tiga bulan kami berhubungan. Saling
mencintai tanpa pernah menjumpai. Namun sadar akan penjajah bernama rindu. Kami
terperangkap dan tergelak satu sama lain. Suara hanyalah suara, tak bisa
digenggam apalagi direngkuh. Menciumu dari balik telfon dulu memang
menyenangkan, namun sekarang menyakitkan. Bagaimana tidak. Aku harus menahan
sesak ketika lagi-lagi kita hanya mampu bersembunyi dibalik selimut
masing-masing.
Mungkin
malam jenuh, melihat sepasang insan bergelora dalam pekatnya hanya untuk
melampiaskan rindu, meski mereka tahu jarak sangatlah kejam. Mungkin bintang terhenyuh,
Memandang kami yang terus menerus mengucap kata rindu. Dan angkasa mengabulkan
setiap doa-doa kami. Akhirnya suatu malam berlabuhlah dia dalam pelukanku. Pelukanku
sesungguhnya. Terima Kasih angin telah menerbangkannya kemari. Sehari waktu yang
cukup singkat, beberapa haripun tak ada bedanya.
Cukup
kami meleburkan rindu, membuat jantung kami menjadi satu. Sudah kami memperkosa
jiwa-jiwa sepi karna kami yakin hidup tak akan pernah hampa jika saling memiliki.
Telah aku mencampakan semua yang ada, hanya memedulikan dia yang didepan mata.
Usai kami memekatkan udara dengan cinta hingga hingga matahari enggan
mengangkasa. Tak letih waktu berputar, tibalah kami diperpisahan.
Pagi
itu setelah kami yakin waktu benar-benar tak bisa berhenti. Aku menyudahi
pelukan itu, aku menyelesaikan bibir kami yang masih saling terpagut. Aku berusaha
menjejalkan semua ketegaran yang ada untuk berpisah sementara. Sesak berjubel
membuat hati semakin berat berpisah. Akhirnya aku berusaha tersenyum dimatanya,
walau pahit untukku. Dan dia berkata “Mengapa ada jarak diantara kita?” dan aku
menjawab. “Agar kita bisa belajar bagaimana caranya setia dan menjaga.” Dia hanya
tersenyum sambil berkata Janganlah Bersedih.
Bagaimana
aku tidak bersedih. Melepaskannya berlayar ketepian samudera lain. Aku hanyalah
sebuah ingusan tanpa dirinya. Sendiri aku tersiksa, berdua aku bahagia. Jika saja
aku bisa merapatkan tepi-tepi benua kita agar pantai tak lagi menjadi pantai,
hanya sebuah dataran berpasir. Agar laut terhimpit hingga hilang dan mengaram. Agar
jarak tak lagi harus terpisah oleh luasnya samudera, hanya tinggal melangkah
untuk memeluk erat tubuhnya.
Merindunya
tanpa harus bersedih. Sesuatu yang mungkin aku haramkan. Merindunya adalah
kesedihan tanpa terkecuali. Andai candu bisa berhenti dan awan menjadi tanah. Aku
tak akan lagi bersedih. Namun mungkin rindu adalah sesuatu yang kubutuhkan. Bayangkan
bila cinta tanpa rindu. Mungkin seperti pelangi tanpa merah, kuning dan hijau.
Melepaskannya
adalah sebuah kesedihan. Puncak tertinggi ialah berpisah setelah bertemu. Setelah
merekatkan paru-paru serta organ tubuh kami dengan lem kuat. Kini kami harus
memisahkannya, bayangkan betapa sakitnya. Semua yang terpola kini harus kembali
teracak. Semua yang bersama kini harus menghampa. Semua yang tadinya tertawa
bersama kini menelan ludah dengan luka.
Fajar
menari indah diatas sana. Rona-rona jingga serta biru langit berpagutan memeluk
satu sama lain. Bermesraan membuat iri kami yang saling menatap haru. Dan tiba
saatnya kami harus berpisah. Aku hanya bisa menatap punggung belakangnya dengan
sendu. Fajar telah usai, biarkan aku kembali menyanyikan melodi rindu hingga
kami bersatu.