Satu
Bulan lamanya. Cerita Ku dan Aidos kuanggap usai. Aku tak mengganggunya lagi,
walau berkali-kali aku mengucapkan maaf pada puluhan pesan yang kukirim
untuknya. Namun mungkin sebegitu marahnya ia padaku. Semua kontak dan jaring
sosial sudah ia hapus. Sudah tak ada sesal lagi yang berkumandang dihatiku. Aku
hanya menikmati hangat cinta Gavin di musim gugur ini.
Minggu-minggu
ini angin begitu kencang menerpa. Semoga angin tak memporak-porandakan hubungan
kami yang sudah susah payah kami bangun. Gavin namanya, pemuda ceria yang
berkali-kali aku sebutkan sekarang. Besok aku akan bertemu dengannya kembali,
katanya ada hal yang ingin ia sampaikan. Aku tak sabar menantikan besok,
kejutan apa lagi yang ia dapat untuk menyenangkan hati ku. Diam-diam aku
tersenyum untuk hal yang tak kuketahui.
Tepat
pukul sembilan dalam malam yang menggebu Aku menunggunya didepan pintu. Tak
menunggu jemu menit berlari ia datang. Bak seorang pangeran dalam kereta
kencana ia mempesonaku berulang kali. Bibirnya melengkung sedikit, ia tersenyum
simpul. Terkesan senyum adalah barang mahal yang ia harus irit. Namun itu tak
menghalangi diriku untuk tertarik padanya. Setelah aku tersenyum barulah ia
tersenyum lebar. Akhirnya, pekiku dalam hati.
Ia
menggandengku mengajaku berjalan ke pelabuhan. Tak ada daftar menu yang biasa
kami pilih. Tak ada makan malam yang tersaji seperti biasanya. Kami hanya
terduduk didekat pagar pembatas. Dihadapan kami terpampang ombak pasang,
namun betapa tingginya ombak itu tak
mampu melewati pagar pembatas itu. diseberang sana terhampar kapal-kapal yang
hanya tampak lampunya saja. Betapa indah pemandangan saat ini.
Udara
begitu dingin, aku memeluk tangan kanan Gavin yang terpancang didekat tubuhnya.
Namun kemudian ia menarik tangannya. Aku tersentak, kamudian aku menatapnya
heran. Kemudian ia menggenggam tanganku dengan kedua tangannya.
“Ada
yang ingin kubicarakan padamu Ariadna..” Matanya menatap lurus kepadaku.
“Ada
apa?” Aku bingung setengah mati menahan rasa penasaran. Kejutan apa lagi yang
ia ingin berikan padaku.
“Kau
tahu Aku sangat mencintaimu bukan?” Desahnya lirih.
“Ya
Aku tahu. Aku juga begitu mencintaimu.” Balasku menatapnya.
Dibalik
malam mata birunya memancarkan kejujuran, didalamnya tersimpan pula keraguan.
Dalam diam hatinya mulai bicara. Namun aku ingin semua itu keluar dari
mulutnya.
“Ada
apa?” Aku masih penasaran.
“Aku
ingin jujur” Ucapnya lagi.
“Jujur
saja jika menyakitkan aku terima, itu lebih baik” Kini aku mulai sedikit
ketakutan.
“Ariadna,
aku mencintaimu, sangat. Aku tak ingin kehilanganmu. Sejak malam dimana kita
pertama kali berbalas pesan. Kau sudah membuatku lepas dari gundahnya dunia
percintaan. Aku lelah akan semua yang terjadi. Dan sebulan lebih aku menjalani
cinta denganmu semua terasa mengasikan, semua terasa pelangi bagiku..” ia
sedikit tersenyum saat mengatakannya.
“Namun
maaf, seperti itulah hubungan kita. Seperti pelangi, indah namun hanya semu.
Maafkan Aku, Kini aku harus kembali pada pelukan Florence..” Mukanya tertunduk,
Aku tahu matanya tak sanggup lagi bicara.
Aku hanya terbisu.
Seperti inilah yang aku takutkan, seperti inilah yang aku khawatirkan. Seperti
inilah! Seperti tersangkut sesuatu, pikiranku tersangkut pada nama Florence.
Seingatku dia adalah mantan terakhir Gavin.
“Ariadna...”
bibirnya berucap kembali setelah mengetahui hanyalah Angin yang sedari tadi
bicara.
“Iya
aku mengerti.” Susah payah Aku bicara, suara ku tersekat ditenggorokan, dan air
mataku sudah berjubel, meraung meminta keluar.
“Maafkan
Aku Ariadna..” Dia menggamit tanganku.
Aku melepaskannya dan
entah kekuatan yang bersumber dari mana, namun kurasa Aku mampu untuk menarik
kembali tangan ini dan berjalan pulang. Sendiri. Kudengar dia hanya berkata
maaf tanpa mengejarku. Semakin jauh aku berjalan. Tak tahan lagi air mataku tumpah. Hatiku menjerit dan berteriak.
Persetan dengan semua ini. Persetan.
Tibalah
Aku dikamar. Aku tak tahu lagi bagaimana mengekspresikannya dalam bentuk
tulisan. Yang aku tahu hanyalah betapa kerasnya hati ini menjerit, betapa
sakitnya luka ini. Betapa bodohnya aku terlena dalam buaian pria busuk seperti
dia. Betapa murahnya aku menjual cintaku kepadanya. Sudahlah!
Bagai
sekelebat tiupan angin, terlintas dibenaku. Aidos. Aku menelfonnya, entah ia
masih mengenaliku atau tidak. Setelah aku menyerah dengan suara yang tak kunjung ada diseberang sana Aku mengiriminya pesan tak kupedulikan lagi betapa bencinya ia padaku.
Aku jatuh. Namun telfon itu tak kunjung ia angkat, kemudian Aku mengiriminya pesan...
--
Tibalah
Aku di Celinston Station. Tempat pertamaku bertemu Ariadna. Awalnya memang
menyakitkan mengenangnya. Namun buat apa? Tak ada gunanya. Bahkan dia bukan
kekasihku, lalu apa peduliku tentangnya. Ku hirup sekali lagi Aroma ini. Aroma
kebebasan. Sebulan berlalu, Aku akhirnya menyerah. Menyerah tentang sakit dan
pedih. Mengikhlaskannya adalah sebuah tantangan baggiku. Namun setelah
melepaskannya barulah kutemui hidup yang sebenarnya. sebebasnya.
Sesampainya
di kamar, Aku langsung menggamit gitar hendak memainkannya menghibur bosan. Tak
sengaja kulihat secarik kertas kecil tertempel dibelakangnya.
“Aku berteman dengan gitar dan lagu
Menyanyikan rindu dan cinta
Aku disini terduduk sendu
Merasa bodoh dipermainkan kata
Malam terngiang bising
Pagi menjemput duka
Aku terdiam hening
Mengiris
nadi menjerit luka”
Hahaa.
Aku tertawa pelan dalam hati. Sejak kapan Aku menuliskan lirik yang terdengar
sangat pilu tersebut. Kuambil kertas tersebut, kuremas dan kulemparkan entah
kemana. Entah sudah tidak tertarik lagi melihat gitar. Aku beringsut
membaringkan tubuhku dikasur. Memandang langit-langit kamarku. Memikirkan bagaimana
rasanya hidup bisa sekosong ini. hidup tanpa seseorang yang membuatmu berarti.
“Hei
Ariadna..” Sapaku ramah. Dengan senyum mengembang tentunya.
“Hai
Aidos..” Balasnya renyah. Dengan senyum yang berseri. Membuatku terjatuh hati
disetiap senyumnya.
“Lama
kita tidak berjumpa, Aku rindu.” Sahutku polos.
“Aku
pun merindukanmu..” Jawabnya berseri.
Tak
ada lagi kata yang diucapkan. Memang hanya percakapan basa-basi sepertinya,
namun kami memulai percakapan serius dalam pelukan setelah ini. Beringsut Aku
merentangkan tangan dan meraih pundak Aridna dan memeluknya dalam dekapanku. Dalam
pelukannya jantung kami mendesirkan aliran rindu yang tak tertahankan lagi.
Hanya tetes demi tetes air mata yang mampu mengungkapkan betapa kami mencumbui
rindu satu sama lain.
“Aidos..”
sahut Ariadna pelan.
“Braaakkk!!”
Sontan aku tersentak kaget. Bunyi daun jendela yang menutup akibat terhempas
angin membangunkanku dalam lelapnya tidur dan dalam bunga yang masih berseri
indah dalam mimpi. Ternyata hanyalah mimpi. Tidak. Aku tidak boleh merindunya
sama sekali. Bahkan mimpi tadi, Aku harus cepat-cepat menghapuskannya. Itu hanya
mengingatkanku pada luka yang sudah ter-fibrin.
Usai
aku mengunci jendela. Angin diluar benar-benar kencang. Musim gugur ini Aku
berdoa. Kututup kedua tanganku dan Aku terpejam
“Aphrodite,
Kirimlah angin, terbangkanlah cintaku dan jatuhkan kepada seorang yang tepat.
Aku terlalu hampa disini.”
Lalu
Aku kembali terbaring dan berharap Aku menemukan cinta yang tepat untuk
kusinggahi. Tiba-tiba terdengar suara notification
dari telephone genggamku. Kubaca dan... Seolah Aku tak ingin melihat isinya,
seolah Aku menyesal membuka pesan ini. dan aku terlampau bingung menjelaskan
perasaanku saat ini.
“Aidos,
apakah kau masih mau bicara denganku? Kumohon? Kali ini Aku benar-benar
bimbang. Aku membutuhkanmu..”
Diam
Aku terpejam.