Sebait Rindu diKepulan Hujan


      Senja bertaburan diangkasa. Petang datang merayap, lambat namun pasti. Aku masih terduduk disini, bersama dengan sepi. Tepat diantara kaca jendela vertikal yang memisahkan aku dan udara dingin diluar sana. Kini air mulai menitik, melukis cakrawala hanya dengan hitam. Malam mulai bernyanyi, seirama dengan hujan yang datang sejak sore tadi.

            Aku termenung memikirkan egoku. Ya kali ini egokulah yang selalu menang. Belakangan ini  aku selalu mencemburuinya, mencemburui teman-temannya, kegiatannya. Apapun itu, berlebihan sepertinya. Tapi percayalah terkadang cemburuku cukup beralasan. Pernah suatu kali aku mencemburuinya karena suatu media sosial yang ia punya, karena seorang manusia yang entah dari mana berasal dan mereka berteman. Aku tahu hanya berteman, namun permulaan kami sebelum menjadi sepasang kekasih bermula dari pertemanan bukan?

            Aku masih termenung mengingat kata-katanya tempo lalu. Saat kami bertengkar hanya masalah puncak egoku yang berdiri kokoh. Hingga akhirnya ia berkata  “Aku tak bisa meyakinkan kekasihku sendiri”

            Bukan maksudku tak yakin akan cintamu. Namun karena kuyakin itulah maka aku menjadi egois. Aku tak ingin cinta itu terbagi dengan yang lain, dengan pria lain diluar sana. Aku hanya ingin itu menjadi miliku seorang dan cintaku? Tentu saja milikmu sepenuhnya.

            Juga bukan kehendaku kamu berpikir jika aku tak yakin. Aku yakin akanmu, akan cintamu. Yang aku tak yakin adalah temanmu. Bagaimana jika temanmu lah yang memulai obrolan? Lalu kamu merasa tak enak dan menjawab semua pertanyaannya kemudian merasa nyaman satu sama lain. Percayalah rasa nyaman akan mengalahkan segalanya. Bahkan setia sekalipun akan menjadi urutan kesekian. 

            Sayang, aku yakin dengan mu. Sejak pertama kali aku mengenalmu aku yakin. Ingatkah kamu saat aku menunggumu mengerjakan tugasmu hingga larut malam? Aku telah yakin dari saat itu, hingga saat kita mengucapkan ikrar janji setia aku yakin dengan hubungan kita. namun hanya saja seringkali rasa itu dikalahkan oleh rasa cemburu. 

            Bukan inginku aku menjadi pencemburu. Itu naluriku, nafsuku, hasratku. Pernah terbesit aku ingin merubah sifatku itu, pernah. Namun itu hal sia-sia yang selalu aku pikirkan, yang selalu aku lakukan berulang kali. Karena biar bagaimanapun itu sudah menjadi kekal dalam salah satu sel otaku. Jika ingin aku bukan menjadi penyemburu, silahkan matikan otakku. Singkirkanlah ia, agar aku menjadi apa maumu. 

            Biar pencemburu. Aku juga tahu tempatnya. Aku tak mencemburui semua teman-temanmu bukan? Aku hanya sedikit risih dengan orang yang mungkin pernah menjadi masa lalumu, masa dimana kamu berkenalan dengan orang baru. Walau aku tau itu sudah lama dan tak berhubungan lagi.

            Terkadang aku ingin keadilan. Maaf bukan maksudku memojokanmu. Namun pernah disuatu kali kamu cemburu dengan temanku. Lalu kita berdebat, akhirnya aku memutuskan hubunganku dengan temanku disemua media sosial itu. Aku tahu itu akan membuatmu lega, dan aku senang ketika kamu lega dan kita tak lagi berdebat. Namun, ketika aku mencemburuimu dan kita berdebat  kamu hanya berkata “Mereka hanya teman, tak lebih.” Ya lebih baik aku diam kali itu.
            Lalu kita berdebat kembali akan aku yang mendiamkanmu. Tanpa sengaja aku berkata “Aku tak ingin kamu merasakan apa yang ku rasakan”.

Dan lagi emosi kita makin meruncing. Kita saling berusaha menusukan pedang ego. Hanya cinta yang menjadi tameng. Tak ada yang mau mengalah seperti dalam gladiator yang berisikan dua orang ksatria.  Aku yang tanpa sengaja menyakitimu. Aku salah, ya aku mengaku salah. Aku hanya berkata apa yang ingin kukatakan saja, aku hanya berkata apa yang ada dalam hatiku dan kalimat itu terlontar mengalir begitu saja. Melewati bagian-bagian sterilisasi otak dengan mudahnya. 

            Perdebatan tak akan ada hentinya akan terus memanas sampai salah satu dari kita tertusuk dan terluka lalu pergi meninggalkan apa yang telah berusaha kami bangun. Akhirnya kamu mengalah, dan aku meluluh. Terkadang terselip pikiran mengapa kamu tak melakukan apa yang aku lakukan untukmu? Mengapa kamu hanya berucap. Lagi-lagi egoku lah yang berbicara. 

            Namun bersyukurlah, karena egokulah kamu menjadi kekasihku. Aku memang bukan pangeran. Namun demi kamu aku rela berkelana lara, menyibak duka di rimba asmara. Mematahkan impian demi sebuah harapan, meluka demi cinta. Iya benar, aku telah mematahkan hati orang diluar sana demi menukar hatiku dengan hatimu. jika aku tak memiliki ego mungkin aku akan menerima semua hati itu, aku tak akan mematahkan satu hatipun, meski pada akhirnya nanti hatimulah yang patah.

            Malam melepas sauh, siap berlayar semakin jauh. Air angkasa masih mengalir turun tak kunjung surut. Dimalam dingin seperti ini waktu yang tepat untuk aku dan secangkir kopi hangat berpikir. Namun kali ini bukan lagi tentang ego, tentang rasa cemburu tentang kami yang pernah saling menyakiti. Kali ini tentang rindu.

            Aku tahu aku menyebalkan, maafkan aku. Tolong maafkan aku yang mungkin nanti akan menyebalkan kembali, yang nanti akan memancing emosimu naik kepermukaan. Hanya saja saat ini aku mengingat kembali memori dulu itu. sewaktu kamu dan aku hanya terhubung melalui dunia maya. Menghabiskan waktu dari pagi hingga larut malam hanya untuk saling mengenal. Lalu tertidur dan bangun, ketika itulah pagi pertamaku memikirkanmu. pagi yang sejuk hingga pesan selamat pagi pertamamu muncul . 

            Masih dengan rindu. Tawa canda walau hanya untuk dibaca. Saling memancing, namun sejak saat itu aku yakin hanya kamulah yang membuatku nyaman. Hanya kamu lah yang membuatku mampu melupakan apa yang seharusnya diingat, membuatku bisa meninggalkan apa yang seharusnya aku kerjakan dan membuat waktuku lebih berharga walau hanya menunggu. 

            Jika cinta itu selalu tentang bahagia aku tak butuh. Jika cinta itu selalu tentang memiliki aku juga tak mau. Aku ingin cinta itu tentang kesetian, bahagia tak bahagia aku ingin kita lalui berdua. Jika memang suatu saat kita jauh dari kata bahagia, mari kita buat bahagia. Bahagia itu kan dibuat bukan didapat begitu saja.

            Aku rindu saat kita pertama kali bertemu. Senyum itu, tawa itu, wajah merah itu. aku tahu kita berdua pemalu saat pertama kali bertemu. Namun rasa gembira itu jelas tercetak diwajah kita bukan? Masih ingatkah kamu akan coklat pertama dariku. Sebatang coklat yang mampu membuatmu tersenyum ditengah perpustakaan karena tertulis “I Love You” dibelakangnya. Jika aku punya mesin waktu aku ingin mengulangi kejadian itu dan melihatmu tersenyum kembali. 

            Aku rindu dipelukmu, tentulah kamu masih mengingat pelukan pertama kita. Diantara derasnya hujan, diantara basahnya baju dan ditengah kebisingan kembang api tahun baru kita merengkuh bahu. Merasakan degub jantung yang saling berpacu, berlomba saling mendahului. Hati bertemu dan saling melempar kata “Aku lah yang paling mencintaimu”.

            Aku rindu bibirmu. Bibir yang mampu membuat bibirku diam tak berucap lagi. Bibir yang mampu membuatku terpejam karena nikmat yang tak tertahan mulai menggebu dan mendorong keluar. Hanya bibirmu lah yang membuatku candu hingga saat ini.

            Aku rindu dirimu. Ketahuilah dikesendirian malam diantara hujan ini aku benar-benar merindumu.