Aku
termenung memikirkan egoku. Ya kali ini egokulah yang selalu menang. Belakangan
ini aku selalu mencemburuinya,
mencemburui teman-temannya, kegiatannya. Apapun itu, berlebihan sepertinya.
Tapi percayalah terkadang cemburuku cukup beralasan. Pernah suatu kali aku mencemburuinya
karena suatu media sosial yang ia punya, karena seorang manusia yang entah dari
mana berasal dan mereka berteman. Aku tahu hanya berteman, namun permulaan kami
sebelum menjadi sepasang kekasih bermula dari pertemanan bukan?
Aku
masih termenung mengingat kata-katanya tempo lalu. Saat kami bertengkar hanya
masalah puncak egoku yang berdiri kokoh. Hingga akhirnya ia berkata “Aku tak bisa meyakinkan kekasihku sendiri”
Bukan
maksudku tak yakin akan cintamu. Namun karena kuyakin itulah maka aku menjadi
egois. Aku tak ingin cinta itu terbagi dengan yang lain, dengan pria lain
diluar sana. Aku hanya ingin itu menjadi miliku seorang dan cintaku? Tentu saja
milikmu sepenuhnya.
Juga
bukan kehendaku kamu berpikir jika aku tak yakin. Aku yakin akanmu, akan cintamu.
Yang aku tak yakin adalah temanmu. Bagaimana jika temanmu lah yang memulai
obrolan? Lalu kamu merasa tak enak dan menjawab semua pertanyaannya kemudian
merasa nyaman satu sama lain. Percayalah rasa nyaman akan mengalahkan
segalanya. Bahkan setia sekalipun akan menjadi urutan kesekian.
Sayang,
aku yakin dengan mu. Sejak pertama kali aku mengenalmu aku yakin. Ingatkah kamu
saat aku menunggumu mengerjakan tugasmu hingga larut malam? Aku telah yakin
dari saat itu, hingga saat kita mengucapkan ikrar janji setia aku yakin dengan
hubungan kita. namun hanya saja seringkali rasa itu dikalahkan oleh rasa
cemburu.
Bukan
inginku aku menjadi pencemburu. Itu naluriku, nafsuku, hasratku. Pernah terbesit
aku ingin merubah sifatku itu, pernah. Namun itu hal sia-sia yang selalu aku
pikirkan, yang selalu aku lakukan berulang kali. Karena biar bagaimanapun itu
sudah menjadi kekal dalam salah satu sel otaku. Jika ingin aku bukan menjadi
penyemburu, silahkan matikan otakku. Singkirkanlah ia, agar aku menjadi apa maumu.
Biar
pencemburu. Aku juga tahu tempatnya. Aku tak mencemburui semua teman-temanmu
bukan? Aku hanya sedikit risih dengan orang yang mungkin pernah menjadi masa
lalumu, masa dimana kamu berkenalan dengan orang baru. Walau aku tau itu sudah
lama dan tak berhubungan lagi.
Terkadang
aku ingin keadilan. Maaf bukan maksudku memojokanmu. Namun pernah disuatu kali
kamu cemburu dengan temanku. Lalu kita berdebat, akhirnya aku memutuskan
hubunganku dengan temanku disemua media sosial itu. Aku tahu itu akan membuatmu
lega, dan aku senang ketika kamu lega dan kita tak lagi berdebat. Namun, ketika
aku mencemburuimu dan kita berdebat kamu
hanya berkata “Mereka hanya teman, tak lebih.” Ya lebih baik aku diam kali itu.
Lalu
kita berdebat kembali akan aku yang mendiamkanmu. Tanpa sengaja aku berkata “Aku
tak ingin kamu merasakan apa yang ku rasakan”.
Dan lagi emosi kita
makin meruncing. Kita saling berusaha menusukan pedang ego. Hanya cinta yang
menjadi tameng. Tak ada yang mau mengalah seperti dalam gladiator yang
berisikan dua orang ksatria. Aku yang
tanpa sengaja menyakitimu. Aku salah, ya aku mengaku salah. Aku hanya berkata
apa yang ingin kukatakan saja, aku hanya berkata apa yang ada dalam hatiku dan
kalimat itu terlontar mengalir begitu saja. Melewati bagian-bagian sterilisasi
otak dengan mudahnya.
Perdebatan
tak akan ada hentinya akan terus memanas sampai salah satu dari kita tertusuk
dan terluka lalu pergi meninggalkan apa yang telah berusaha kami bangun. Akhirnya
kamu mengalah, dan aku meluluh. Terkadang terselip pikiran mengapa kamu tak
melakukan apa yang aku lakukan untukmu? Mengapa kamu hanya berucap. Lagi-lagi
egoku lah yang berbicara.
Namun
bersyukurlah, karena egokulah kamu menjadi kekasihku. Aku memang bukan
pangeran. Namun demi kamu aku rela berkelana lara, menyibak duka di rimba
asmara. Mematahkan impian demi sebuah harapan, meluka demi cinta. Iya benar,
aku telah mematahkan hati orang diluar sana demi menukar hatiku dengan hatimu.
jika aku tak memiliki ego mungkin aku akan menerima semua hati itu, aku tak
akan mematahkan satu hatipun, meski pada akhirnya nanti hatimulah yang patah.
Malam
melepas sauh, siap berlayar semakin jauh. Air angkasa masih mengalir turun tak
kunjung surut. Dimalam dingin seperti ini waktu yang tepat untuk aku dan
secangkir kopi hangat berpikir. Namun kali ini bukan lagi tentang ego, tentang
rasa cemburu tentang kami yang pernah saling menyakiti. Kali ini tentang rindu.
Aku
tahu aku menyebalkan, maafkan aku. Tolong maafkan aku yang mungkin nanti akan
menyebalkan kembali, yang nanti akan memancing emosimu naik kepermukaan. Hanya saja
saat ini aku mengingat kembali memori dulu itu. sewaktu kamu dan aku hanya
terhubung melalui dunia maya. Menghabiskan waktu dari pagi hingga larut malam
hanya untuk saling mengenal. Lalu tertidur dan bangun, ketika itulah pagi
pertamaku memikirkanmu. pagi yang sejuk hingga pesan selamat pagi pertamamu
muncul .
Masih
dengan rindu. Tawa canda walau hanya untuk dibaca. Saling memancing, namun
sejak saat itu aku yakin hanya kamulah yang membuatku nyaman. Hanya kamu lah
yang membuatku mampu melupakan apa yang seharusnya diingat, membuatku bisa meninggalkan
apa yang seharusnya aku kerjakan dan membuat waktuku lebih berharga walau hanya
menunggu.
Jika
cinta itu selalu tentang bahagia aku tak butuh. Jika cinta itu selalu tentang
memiliki aku juga tak mau. Aku ingin cinta itu tentang kesetian, bahagia tak
bahagia aku ingin kita lalui berdua. Jika memang suatu saat kita jauh dari kata
bahagia, mari kita buat bahagia. Bahagia itu kan dibuat bukan didapat begitu saja.
Aku
rindu saat kita pertama kali bertemu. Senyum itu, tawa itu, wajah merah itu.
aku tahu kita berdua pemalu saat pertama kali bertemu. Namun rasa gembira itu
jelas tercetak diwajah kita bukan? Masih ingatkah kamu akan coklat pertama
dariku. Sebatang coklat yang mampu membuatmu tersenyum ditengah perpustakaan
karena tertulis “I Love You”
dibelakangnya. Jika aku punya mesin waktu aku ingin mengulangi kejadian itu dan
melihatmu tersenyum kembali.
Aku
rindu dipelukmu, tentulah kamu masih mengingat pelukan pertama kita. Diantara derasnya
hujan, diantara basahnya baju dan ditengah kebisingan kembang api tahun baru
kita merengkuh bahu. Merasakan degub jantung yang saling berpacu, berlomba
saling mendahului. Hati bertemu dan saling
melempar kata “Aku lah yang paling mencintaimu”.
Aku
rindu bibirmu. Bibir yang mampu membuat bibirku diam tak berucap lagi. Bibir yang
mampu membuatku terpejam karena nikmat yang tak tertahan mulai menggebu dan
mendorong keluar. Hanya bibirmu lah yang membuatku candu hingga saat ini.
Aku
rindu dirimu. Ketahuilah dikesendirian malam diantara hujan ini aku benar-benar
merindumu.