“Zrreeeeeeesss” Hujan mengguyur lebat. Seolah langit
benar-benar menuangkan beribu-ribu galon miliknya malam ini. tak terlihat lagi jalan
didepan sana. Pandanganku tampak kabur, ditambah gelapnya malam, hujan ini
benar-benar menyempurnakan hari. beberapa langkah lagi tampak tempatku tinggal.
Saat sampai bergegas kubuka pintu dan kunaiki tangga. Berlari-lari kecil aku
menuju atas. Kubuku sebuah pintu dan kembalilah aku dalam pelukan hujan di rooftop ini.
Diatas sinilah tempatku selalu mengadu. Menengadahkan
tangan kepada Aphrodite. Kali ini aku tak peduli lagi betapa kacaunya pakaianku
atau bahkan senduku yang terus mengalir dari kedua pelupuk mata. Biarlah hujan
ini selalu menghapus air mataku. Mungkin kali ini langit mengetahui isi hatiku
dan ikut menangis.
Aku duduk ditepi pagar pembatas, memandangi beberapa
titik cahaya yang kabur diterpa hujan. Aku ingin seperti ini, duduk dalam sepi
ditemani oleh dingin. Jika aku mengingatnya... Sakit rasanya. Mengetahui hal
seperti itu, tak kuduga sama sekali. Seharusnya ia bilang jika sedang dekat
dengan seorang lelaki. Jika begitukan aku tak akan mengganggunya. Sekarang rasanya
bagai tersambar petir. Hatiku benar-benar pecah. Kepingan itu masih teronggok
dalam rongga dada, serpihannya menusuk-nusuk hingga menyakiti pikiranku.
Aku terduduk diatas, namun rasanya aku jatuh jauh
dibawah. Disela-sela jiwaku yang terbelenggu terbesit kata rindu yang mulai
terhapus. Diantara manisnya kenangan, terselip bilah tajam kesakitan. Aku rindu
awalnya, tak cukup untuk mencapai puncak, jatuhlah tangkai bunga yang sudha kubawa.
Seketika itu jatuh pula rasanya jiwa ku terhempas. Pertama kali kulihatnya, aku
terpasung kaku menatap dia dan lelaki itu. kukumpulkan semua nyawa yang
tercabut keluar sesaat. Kukumpulkan walau hanya untuk berlari keluar dari
tempat itu.
Berlari aku menerpa badai, memasuki hujan dan mendekapnya
hangat. Jalanan tampak senyap hanya suara hujan yang terdengar mengguyur deras.
Nyawaku masih belum terkumpul sempurna. Otaku kacau, hatiku remuk redam. Jantungku
berdegub tak karuan ingin meledak. Amarahku tentu saja meluap-luap.
Kini kudekap erat kedua lututku. Malam benar-benar hitam,
bukan lagi kelabu. Gelap rasanya. Kutundukan kepala diantara kedua lututku. Kupejamkan
mata berharap duka ini ikut terpejam. Air mataku berhenti mengalir, berharap
sakitku pun ikut terhenti. Namun rasanya sia-sia saja. Sakit tetaplah sakit,
tak akan hilang bila tak dilupkan. Luka adalah luka, tak akan sembuh bila tak
diobati. Namun biarlah rasa ini mendera. Semakin sering hati ditempa, semakin
kebal hati terbuat.
Aku bersuaha berdiri, berjalan memapah diri. Rasanya
pusing sekali, kenapa aku bisa selemah ini. sudahlah mengetahui hal seperti itu
bukanlah hal yang luar biasa di jaman seperti ini. aku bersusah payah menuruni
tangga, badanku rasanya berat seperti memikul sesuatu. Kubuka lemari
pendinginku dan kulihat rak paling bawah. Ternyata masih ada. Dua botol bir
armagedon bekas temanku tempo lalu.
Ku teguk bir itu. seteguk tak cukup, kuteguk
berulang-ulang seperti meneguk telaga penghilang dahaga. Letih ku berkurang,
rasanya kembali bugar. Mataku kembali
menyala. Namun tanganku terasa lemas, badanku sangat lunglai. Aku
terhempas di sofa, kuteguk lagi sebotol itu hingga tak bersisa setetes pun.
Tenang. masih ada sebotol lagi, kini pikiranku mulai meracau. Mataku terkatup
rapat, namun bibirku masih menginginkan tegukan itu, tenggorokanku haus akan
alkohol. Kuteguk kembali dengan mata terpejam. Kali ini rasanya sangat
menyenangkan, aku seperti memiliki sepasang sayap. Pelan-pelan aku tersenyum.
Diam-diam aku bahagia. Kutelan kembali air surga itu, lirih aku berkata.
Ariadna aku membencimu..
--
Pagi menjulang cerah. Tak terasa aku mampu melewati malam
bagai di neraka. Bengkak dibawah mata ini pertanda aku telah menangisimu Aidos.
Aku masih terbekap selimut rapat. Aku lelah memikirkan hal yang semalam
terjadi. Namun entah bagaiaman aku melewatinya namun, benar mentari kembali
muncul. Gavin, oh iya Gavin! Bagaimana dengan dia?
Pelan kubuka pintu kamarku dan benar saja, masih tertidur
pulas disofa depan. Lelaki itu, matanya menandakan kelelahan. Ia terpejam
pulas.aku tak tega membangunkannya. Tubuhnya meringkuk menahan dingin yang
menerpa. Cepat kubawakan selimut, lalu ku selimuti dia dan kubelai lembut
rambut pirangnya. Aku terduduk didepannya, kusandarkan dagu sambil menatap
wajahnya. Wajahnya lah yang terpola di bola mataku, namun yang terukir saat ini
hanyalah Aidos.
Aku merenung. Bukan salahku jika Aidos marah atau kecewa.
Bukan salahku jika ia pergi
meninggalkanku, dan bukan salahku pula jika saat itu Gavin membuatku nyaman. Bukan
salahku. Namun mengapa tadi malam aku begitu risau memikirkannya. Apakah aku
terlalu lemah. Apa aku juga masih menyayanginya. Sepertinya rasa itu kubiarkan
sirna saat ini. Aku pun tak ingin menyakiti hatinya gavin. Aku mencintainya, ya
aku mencintainya. Sebenarnya aku lebih dulu mengenal Gavin dibanding Aidos. Namun
aku hanya sekedar kenal, ia adalah temannya temanku. Entah bagaimana waktu
begitu tepat mempertemukan kami.
Ia mampu menjadi peleburan hatiku. Tempat segala
kegundahan bermuara. Kepadanyalah aku bercerita tentang peliknya hidup. Saat itu
memang tak ada tempat bercerita lagi. Ia seumuran dengan Aidos. Hmmm mengapa
aku memikirkannya kembali. Sebenarnya jujur aku ingin menceritakan tentang
Gavin, namun Aidos selalu berhasil mengusik pikiranku. Mungkin aku hanya merasa
sedikit bersalah, namun jika membayangkan posisinya tadi malam.. Sudahlah.
Aku tidak ingin menyakiti Gavin. Namun apakah aku adil
aku telah menyakiti Aidos? Tidak dialah yang salah telah meninggalkanku
terlebih dahulu. Disaat aku benar-benar terseok akan cinta. Dia meninggalkanku
seorang diri terpapah oleh sepinya hidup. Aku tahu rasanya menjadi sendiri,
untuk itulah aku tak ingin menyakiti Gavin.
Sayup-sayup Gavin membuka matanya. Senyumnya mengembang
diiringi oleh ucapan selamat pagi.
“Selamat Pagi.” balasku dengan tersenyum
“Kau Kenapa tadi malam?? Dia siapa?” tanyanya.
“Sudah kau tak usah risaukan hal itu, ada kalanya kita
bicarakan tentang kejadian semalam.” Aku memeluk dadanya. Kemudian ia mencium
dahiku lembut.
Aphrodite. Adilkah engkau memberi posisiku ditempat yang
serba salah ini. Aku sudah terlanjur bersama dengan Gavin. Namun tolonglah
cepat sembuhkan luka Aidos. Kini aku hanya terpejam diatas dada Gavin. Aku ingin
mencari kenyamanan, aku ingin ketenangan dari seorang lelaki ini. Semoga ia tak
menyakitiku kelak.
Dua hari berlalu. Hubunganku dengan Gavin tak ada
masalah. Semua baik-baik saja. Bahkan kurasakan semakin menyenangkan berada
didekatnya. Mungkin benar, ia lah
pilihan Aphrodite. Ia mampu membuatku nyaman berada didekatnya. Walau aku tak
tahu ada pedang yang mengancam diluar sana. Walau aku yakin ada karma yang
menunggu. Namun aku menikmati setiap detik bersamanya.
Kini hari mulai senja, aku berjalan bersamanya menuju
rumahku. Tentu saja ia menggenggam erat tanganku diiringi tawanya yang renyah. Pelan
aku berbisik dan terpejam. Aphrodite aku mencintainya..