APHRODITE: Sepenggal Kisah Ariadna


            Dua kali matahari tenggelam dan terbit kembali semenjak kejadian itu. Kejadian saat aku menemukan pria itu. Aidos.
            Aku merasakan sesuatu yang sebelumnya kukenal, namun seperti lama telah hiang. Aku menemukannya kembali. Perasaan ini. desiran jantung ini. seperti mengulang masa-masa yang telah lama kulupakan, aku merindunya.
            Agniprava. Telah lama hilang dan terselip didalam saku belahan hati ini. Hilang yang berarti tak ada lagi sosoknya, tak ada lagi jejaknya, tak ada lagi dia didalam ponsel ataupun yang lainnya. Namun bukan berarti hilang pula ia didalam hati ini. Saat itu perasaanku benar-benar hancur. Entah jadi berapa keping?
            Aku pernah teriris pisau. Aku tahu tajamnya seperti apa. Namun yang ku tak tahu adalah jika sikapmu lebih tajam dari sebilah pisau Agniprava. Namun apa daya. Luka hanyalah luka. Menganga apabila masih basah. Semakin lebar luka itu menjalar, semakin dalam pula kenangan itu merambat.
            Aku terjebak dalam waktu senja. Aku tak menyukai senja. Senja adalah bimbang. Ia tak mampu memilih malam, atau siang. Pun dengan aku. Tak mampu memilih. Tunggu! Aku bahkan tak punya pilihan. Ingin bertahan dengan lelaki itu, namun apa yang dapat kuberikan lagi padanya. Hatiku hanya tinggal sepotong. Ya. Ia telah memotongnya bukan? Pernah terpikir olehku akan Aidos. Namun ragu mengganjal disetiap langkah dalam pikiranku. Bukankah aku baru saja kenal?
            Hari berganti kembali. Semakin intens hubunganku dengan Aidos. Semakin lama aku berhubungan dengannya, semakin pula aku merasa yakin akan dia. Entah, hanya dia yang mampu menjadi perban diantara lukaku, sepertinya hanya dia yang mampu menjadi perekat untuk kepingan hatiku. Berlebihan memang, tapi bukankah kau merasakan seperti ini bila sedang jatuh cinta? Benar bukan?
            Malam ini. Aku kembali bertemu Aidos. Kami berencana melewatkan malam bersama disebuah cafe disebrang Celinston Station. Entah mengapa, kami pernah bertemu, namun aku akui kali ini aku sedikit grogi.
            Rembulan sudah utuh. Bulat sempurna dibulan Februari akhir. Aku duduk bertatapan dengannya. Matanya yang coklat, sungguh indah diterpa sinar bulan malam ini. Aku tak mampu lagi berkedip. Mataku seakan membatu menatapnya. Kelopakku seolah tertempel erat dengan pelipis. Senyumku bahkan ikut mengembang saat bibirnya tersenyum. Makan malam kali ini tidak lah spesial sama sekali. Hanya makan berdua dibawah sinar bulan. Tidak ada yang lebih, tidak ada yang spesial. Namun dengannya seolah membuat semua ini tampak lebih berarti.
            Roboh sudah. Lebur sudah. Pasak yang susah payah kutancapkan erat-erat. Jangkar yang telah susah payah kutambatkan. Kini luruh. Aku masih merasakan sakit ketika teringat kenangan-kenangan itu. Aku masih trauma menjalani hubungan kembali. Namun kali ini. aku sangat yakin dengan perasaanku. Kutunjuk jariku pada langit malam ini, lalu kugerakan sehingga membentuk gambar hati. Kupejamkan mata dan aku mulai berdoa.
            “Aphrodite... Aku telah menggambar hati pada angkasa tempatmu tinggal, semoga hati yang kugambar sampai padamu. Patrilah hati itu pada Aidos. Seperti engkau memanah hati Ares.”
            Sebelum tidur, aku berbisik lirih pada udara malam yang membisu dingin.
            “Aidos.. Aku Siap Berlayar Bersamamu...”