APHRODITE: The Night Sky of February


Mungkin cerita ini memang fiksi, namun apakah cinta itu adalah fiksi??
            Padang Circinus (kompas) 20 Februari 2014 
“Aether, Ananke, Fanes...”1 Ucapku dalam hati lalu ku tutup kedua telapak tangan ini. Langit Februari tengah menunjukan bertemunya Andromeda dan Pisces. Kupandangi semu malam ini. Angkasa tampak berpendar indah, namun hatiku cukup gelisah. “Aprodhite2 ... Tolong aku..” Aku berdoa sembari memejamkan mata, berharap akan ada bintang suci yang diturunkan olehnya.
Langit Terlalu gelap untuk kulangkahi. Hanya ada temaram lampu jalanan ditiap sudutnya. Jarak Padang Circinus cukup jauh dari tempatku tinggal. Setelah jalan beberapa blok aku harus menuruni subway dan melewati beberapa stasiun. Suasana Celinston Station cukup sepi, hanya terlihat 5-6 orang yang ikut menunggu kereta bersamaku. Tak jauh dari tempatku berdiri terlihat sesosok wanita sedang mendengarkan lagu dari iPod miliknya. Rambutnya hitam , sehitam langit malam Februari, terurai panjang bergelombang. Ia menggunakan scarf biru dongker. Kulitnya putih ala orang eropa kebanyakan. Namun seperti ada yang membedakannya. Ada yang membuatnya lebih spesial dari orang lain. Tapi. Bukankah aku belum mengenalnya?
Ia sedang asik mengunyah permen karet dalam mulutnya, tampak tak peduli dengan sorotan mataku yang terus menelisik ke arahnya. Kereta yang kami tunggu akhirnya datang. Saat duduk akupun sengaja berada tepat didepannya, meski aku grogi namun kapan lagi aku mempunyai kesempatan seperti ini? Wow! Dia seperti bidadari. Hidungnya mancung, matanya hitam, tubuhnya seperti tubuh-tubuh wanita dalam majalah pria. Tingginya kutaksir 178cm. Ia masih asik dengan iPodnya namun lama-kelamaan ia mengantuk sepertinya. Entahlah. Dia memejamkan matanya, saat seperti ini aku asik memandanginya dari atas sampai bawah. Merabanya dengan puas, walau hanya dengan mata.
Tiba-tiba! Dia membuka matanya sangat cepat dan langsung memandang tepat kearahku. Aku yang sedang asik memandanginya jadi sangat salah tingkah.
“Damn.. aku tertangkap basah” ucapku dalam hati menahan rasa pias yang melanda.
Dia sedikit tertawa sembari menutup mulutnya dengan tangan kirinya. Tanpa kutahan lagi akupun ikut tersenyum kecut. Tawanya indah.
“Demi Zeus apa yang terjadi jika aku atau dia turun dari kereta ini. aku ingin bersamanya lebih lama, walau aku belum mengenalnya. Apakah ini hanya nafsu? Entahlah.”
Sebentar lagi adalah stasiun tujuanku. Berat rasanya aku akan melangkah pergi. Semoga saja dia juga turun. Dengan begitu aku bisa mengucapkan kata perpisahan walau hanya lewat tatapan mata. Ah sudahlah lebih baik aku berdiri sekarang dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Walau memang sebenarnya tidak terjadi apa-apa. Tepat aku mematung didepan pintu kereta berharap pintu ini akan cepat terbuka. Dan sepertinya Dewa-dewa diatas sana mendengarkan doaku. Pintu terbuka dan aku langsung keluar tanpa sempat melihat lagi wanita itu. Namun baru tiga langkah aku menpakkan kaki di peron aku sudah tak tahan untuk melihat kedalam jendela kereta.
Wanita itu sudah tidak ditempatnya lagi. Reflek aku menolehkan kepala kesegala penjuru. Dan kurang dari enam langkah wanita itu ada disampingku. Detak jantungku berpacu. Berkomat-kamit aku mengucapkan Aprodhite, berdoa ia mengirimkan burung daranya disekelilingku. Ia menatapku dan tersenyum, kurasakan wajahku memanas, memerah padam. Seperti ada eskalator horizontal yang membawa tubuhku kearahnya. Aku membalas senyumnya dan mengarahkan tanganku kepadanya. Sedikit... em tidak. Terlalu kaku mungkin menurutku. Caraku mengajak berkenalan terlalu klasik sepertinya. Namun.. tidak sia-sia.
“Ariadna..” Ucapnya sembari menjabat tanganku.
The day we met Frozen, I held my breath Right from the start Knew that I found a home For my Heart beats fast Colors and promises...
“Kurasakan detik berhenti berputar, kurasakan sedikit pusing. Pusing karena revolusi bumi tak lagi pada matahari, namun jatuh tepat pada senyummu. Kurasakan bumi tak lagi berotasi. Namun terhenti di sudut matamu itu” Gumamku dalam hati.
“Hei mengapa diam saja, siapa namamu?” Ujarnya membuyarkan lamunanku dan mengambalikan bumi pada orbitnya semula.
“Aidos..” Jawabku sedikit gugup.
“Kau tinggal dimana Ariadna?” Tanyaku memecah kecanggungan yang mulai memeluk kami.
“Blok 13. Kau sendiri?” Berbeda denganku ia cukup lebih santai menjawabnya.
“Blok 12. Ternyata kita tinggal tak jauh berbeda. Boleh kuantar kau pulang kerumah?” Entah apa yang merasukiku. Kita baru saja kenal tapi sepertinya aku sudah lancang.
“Emmmm... Bagaimana yah.” Dia tampak sedikit bingung
Bodoh bodoh sekali aku. Mana mungkin ia mau, baru saja aku berkenalan. Aku ini masih sangat asing dimatanya
“Maaf-maaf aku tidak akan mengantarkanmu bila tak mau hehe” tawaku kikuk.
“Begini saja. Ini nomer telephone miliku, kau bisa mengubungi ku kapan saja” ia mengeluarkan spidol dan kertas miliknya lalu menulis nomer telephonenya.
Waktu sangat tak adil. Kini aku sudah berada di rumahku. Rasanya seperti kilat aku berkenalan dengan utusan Dewi-dewi diatas sana. Kutatap langit-langit kamarku. Entah aku hanya terbayang matanya yang indah itu. Jam sudah menunjukan pukul 03.45AM namun mata ini belum bisa terpejam. Ingin aku menghubunginya tapi aku takut mengganggunya. Semakin besar aku menahan rasa ego, semakin kuat pula nafsu itu mendobrak. Akhirnya aku mengalah.
“Hi. Sudah tidur? –Aidos-“ kutekan tombol send dan berharap yang terbaik yang terjadi.
“Tring!!!” Satu pesan masuk
“Hi Aidos. Belum, kau sendiri?” balasnya
Akhirnya kami terjebak dalam lautan pesan. Berlanjut dalam media sosial. Kami berpaut pagut dalam liku-liku dunia maya. Aku sangat merasa nyaman mengobrol dengannya. Kami saling menceritakan aktivitas kami masing-masing. Terakhir kutahu, dia adalah penyanyi. Dan terakhir kuberi tahu aku adalah penyair. Pertama ia bilang arti namanya adalah Putri dari Raja Minos dalam Mitologi Yunani kuno. Dan pertama pula ku bilang arti namaku adalah Dewa Penghargaan. Dan tibalah obrolan kami menyentuh urat sensitif semua orang. Hati.
Ia baru saja putus dengan mantannya. Namanya Agniprava. Awalnya aku memang ingin tahu, tipe pria yang ia sukai seperti apa. Namun lama kelamaan, Ariadna selalu membahas Agniprava.
“Agniprava inilah... Agniprava itulah.. Agniprava bisa... Agniprava blablabla...”
Sebenarnya aku malas menanggapinya, entah tanpa sadar aku mempunyai imun untuk melewatinya. Jam sudah menunjukan pukul 06.25AM mata kami tak lagi bisa berkompromi, meski hati ini selalu mengajak berunding. Akhirnya kami menyudahi chatting-an yang membuat candu itu. Sebelum aku terlelap ada sedikit kecemasan dalam hatiku. Tidak, bukan sedikit melainkan banyak. Aku terlalu cemas. Aku takut kehilanganya, aku terlalu nyaman dengannya. Namun aku juga khawatir dia selalu membicarakan mantannya. Entahlah, cemburu namun belum pantas cemburu itu bersarang dalam hati.
Aku terlalu takut dengan pengalamanku. Tak mudah aku jatuh cinta. Namun dia sepertinya membuat ‘susah’ itu menjadi sangat mudah. Apakah yang membuat dia berbeda dengan yang lainnya? Sejenak aku berfikir. Dan aku tak menemukan perbedaan yang berarti. Hanya saja hati ini yang membuat perbedaan itu sendiri. Ingin sekali kujatuhkan jangkar tepat dihatinya agar aku tak berlayar lagi. Namun tetap saja ada keraguan yang menimpa dibalik kendali nahkoda ini. Badai pasti ada, kapal pasti terguncang. Pertanyaannya, apakah jangkar ini mampu menancapkan dan membuat kapal berhenti berlayar walau badai menerpa?
Sekali lagi aku pejamkan mataku dan aku berdoa pada Aprodhite....

1 Aether, Ananke, Fanes: Dewa Athmosfer, Dewi Kebutuhan, Dewa penciptaan
2 Aprhodite: Dewi Cinta dan Nafsu.