Verona.

Dibentang Athena.

            (Verona 19-Mei-1998) Tak ada lagi kabar dari Athena. Kulipat tanganku diatas pagar jembatan disamping castelvecchio.Sepertinya hanya jembatan ini yang menjadi sandaranku.  Jembatan ini membelah Sungai Adige. Entah mengapa tak ada yang memberi nama jembatan indah ini. Mereka selalu menyebutnya “jembatan di samping kastil castelvecchio” padahal bisa saja jembatan ini di beri nama. Ah entahlah, mengapa aku sekarang memikirkan jembatan. Tak ada gunanya.

            Kutatap air yang mengalir dibawah sana. Terpantul jelas bayangan seorang pria yang bersedih. Memikirkan seorang gadis yang sudah seminggu ini putus dengannya. Masih banyak gadis cantik di Verona.  Aku melangkahkan kaki menjauhi jlembatan batu itu. Entah langkah ini membawaku kemana. Aku hanya ingin tersesat di Verona. Mengapa aku jadi seperti ini, mengalami kisah cinta klasik seperti kebanyakan muda-mudi Verona yang terinspirasi oleh karangan William Shakespeare. Tempat ini terlalu melankolis untukku. Sepertinya Milan tempatku lahir memang kota yang tepat. Namun disana pula Athena tinggal. Kehilangan memang menyakitkan, namun yang lebih menyakitkan adalah Kenangan.

            Sesederhana pula kehilanganku. Sesederhana pula aku memutuskan tinggal dan bekeja disini. Aunty rose memiliki kedai bakery yang terletak beberapa blok dari jalan Juliet. Seminggu kerja disini belum bisa melupakan Athena. Mengapa perpisahan terjadi begitu cepat.

            Mais essiccato, masih essiccato” Sahut penjual makanan burung merpati sembari menawarkan barang dagangannya kepadaku.

            Entah mengapa aku membeli jagung kering tersebut. Pikiranku kosong. Tidak, hanya mataku yang kosong namun pikiranku penuh oleh Athena.  Tepat di Quarter of Limbert aku berjongkok, melemparkan jagung-jagung kering tersebut kepada merpati yang asik bercengkrama.  Gemerisik sayap merpati yang asik menikmati mais essiccato sedikit berhasil mengepakan kesepian dari hadapanku. Ketika aku melempar sejumput jagung kering itu, maka merpati-merpati akan berhamburan terbang kemudian dengan cepat kembali lagi untuk mematuki makanannya.

            Hmmm pantas saja turis-turis selalu kembali ke verona. Hal-hal sesederhana ini memang bisa membuat perasaan orang bahagia pikirku. Kembali aku menjejakkan kaki, mengelilingi verona yang hanya sepetak ini. Bangunan disini tak jauh berbeda dengan yang di milan, sama-sama bertekstur kuning kecoklatan dengan dinding-dinding kasar khas eropa. Hanya saja disini jarang ada gedung-gedung besar seperti di milan.

            Tibalah aku didepan gang yang menembus pekarangan House of Juliet. Tempat ini tak pernah sepi pengunjung. Setip hari selalu dikunjungi baik turis lokal maupun mancanegara. Aku penasaran. Apa yang mereka lihat dari balkon Juliet tersebut. Saat melewati lorong kecil pembatas pekarangan dengan jalan diluar sana entah mengapa hatiku berdegub. Disini tempat orang-orang mengirimkan surat unutk Juliet, disini pula para wanita banyak menangis sembari menulis curahan hatinya di selembar kertas yang nantinya akan di tempelkan pada dinding di bawah balkon juliet.

            Saat memasuki pekarangan. Susasana tampak berbeda, tampak keadaan ini seperti sedang menyangsikan isi hatiku. Aku juga sedang terluka. Ku bergerak mendekati surat-surat itu diselipkan di tembok. Berbagai macam bentuk kertas tertempel disitu. Enggan aku membuka dan membacanya, hanya akan menambah beban pikirku dalam hati. Kulihat sepintas kertas merah muda seperti yang biasa dipakai Athena ketika ia menuliskan Surat untukku.

            Aku mencoba mendekat dan kuambil surat itu “Hah.. Athena??” Pekikku. Tertulis 19 Mei 1998. Ia baru kemari hari ini. Pasti ia masih di Verona. Ya di sekitar sini mungkin. Aku mengarahkan pandanganku ke segala penjuru. Mencari-cari Athena. Sepintas terlihat seorang dilorong berjalan menjauh. Rambut coklat ikal terurai panjang. Aku mengenali rambut tersebut, tanpa pikir panjang aku langsung berteria memanggil.

            “Athenaaa. Athenaaaa!!” Semua orang berbalik menatapku heran.

            Gadis tersebut hanya menoleh datar. Namun ketika mata kami bertemu pandang ia langsung membuang muka dan berlari. Aku mengejarnya dengan cepat. Ia berlari menembus gang-gang sempit Verona. Aku hafal betul tempat ini. hampir aku mengenai sikunya tiba-tiba sebuah kotak kayu sengaja ia jatuhkan untuk memperlambatku. Secepat kilat aku kembali menyusulnya dengan sigap aku meloncati kotak kayu tersebut dan kembali mengejarnya. Ketika sesampainya di jalan besar ia sempat menoleh sejenak kepadaku lalu menyebrang dengan cepat dan sebuah vespa tanpa kusadar menyerempet tubuhku. Aku terjatuh dan berharap bisa kembali mengejar Athena. Namun ternyata berat juga rasanya mendirikan tubuh ini. susah payah aku berdiri yang ada hanyalah hembusan angin. Tidak ada lagi jejak Athena. Otaku bercampur aduk, entah perasaan apalagi ini.. Lalu surat itu??


Alvern (Musim Semi)

            Quarter of Limbert. Pagi ini aku merasa kacau. Aku tak lagi memikirkan pekerjaanku di Milan. Semuanya terus berputar pada lelaki itu. Alvern. Hubungan kami memang berawal seperti musim Semi seperti pada arti namanya. Namun Semi hanyalah Gugur yang tertunda bukan. Akhirnya tak lagi mencapai usia 2 Tahun hubungan kami harus kandas. Bukan. Bukan karena aku tak lagi mencintainya. Hanya saja... ada sesuatu yang tak bisa kuberitahukan kepadanya. Aku hanya terduduk membisu menatapi merpati ini. Kepakan sayap mereka tak mampu menghalau kesedihanku saat ini. mungkin menyenangkan menjadi merpati. Terbang bebas kemana mereka suka. Mungkin menyenangkan menjadi merpati mengepakan sayap tanpa beban.

            Entah hilang pikiranku datang ke Verona. Kudengar disini bisa mencapaikan rasa kalut yang mendalam. Kubaca disinilah kisah Romeo dan Juliet berasal. Dan aku sedikit penasaran oleh House of Juliet. Aku meninggalkan Milan bukan tanpa alasan. Aku hanya tak ingin teringat terus dengan Alvern. Sosoknya yang teduh mampu menyejukan sebuah kemarau.  Aku terlampau dibayan-bayangi mata coklatnya yang indah. “Aaaaaaahhhh” Tanpa sengaja aku berteriak karena sesosok Alvern memutari otakku.

            “Kenapa Nona. Ada apa??!” tanya salah seorang pengunjung panik.
            “Tidak, tidak aku hanya kaget..” Jawabku dengan nada datar

            Kejadian tadi cukup membuatku malu sebenarnya. Namun disisi lain aku juga cukup tertekan dengan semua ini. kini aku berjalan, entah tanpa tujuan. Kupandangi Verona, namun Verona tak mampu membuatku melupakan Alvern. Sudah seminggu kami berpisah. Seminggu adalah waktu yang cukup lama bagiku untuk tak berhubungan lagi dengannya. Verona cukup indah, dengan lokasi geografis yang berada tepat di lengkungan sungai Adige. Dan berujung pada kastil tua castelvecchio.

            Kini aku tepat berada di bibir sungai Adige. Sungai ini cukup lebar dan panjang untuk membelah verona. Disisi tepat di lengkungan sungai Adige aku berdiri. Mematungkan diriku di bibir sungai. Memangku tanganku tepat di tepi pagar pembatas sungai. “Ah mengapa hanya ada wajahnya di pantulan air itu” desahku pelan. Kini aku merasa tak lagi waras. Kulempar batu ke sungai itu. Sehingga riak menghancurkan wajahnya yang terpantul. Namun, riak hanya memcah wajahnya sebentar. Kemudian bagian-perbagian utuh kembali. Kupandangi wajahnya, kali ini aku menuju tepat di matanya. Mata coklat itu. Tuhan aku begitu mencintainya.

            Sudahlah tak ada gunanya aku mematung di tepi sungai. Kulangkahkan gontai menuju House of Juliet. Untung aku tepat waktu. Di jam-jam tertentu disini kisa bisa mendengar Sang Juliet yang tentu saja diperankan oleh aktris bernyanyi di balkon lalu berkeluh kesah tentang Romeo. Tepat kini aku berada di bawahnya, aku mendongak keatas. Wanita itu tak jauh lebih tua daripada ku. Kudengar liriknya terakhir, tanpa sadar mataku beraca-kaca

Dio la amo da qualsiasi senso della mia vita, era il più significativo per me.
Dio, io voglio di più di amore, modella mia sincerità.
Dio, se non ci consentono insieme, allora lascia che sia un momento di romanticismo viene creato. Ho ancorato dipangkuanmu. organizzo un incontro con lui.

Yang berarti

“Tuhan aku mencintainya dari segala arti dari hidupku, dialah yang paling berarti bagiku.
Tuhan aku menginginkannya lebih dari sekedar cinta, ia bentuk ketulusan milikku.
Tuhan jika mereka tak mengijinkan kami bersama, maka biarlah waktu dibentang asmara. aku berlabuh dipangkuanmu. pertemukan aku bersamanya.”

            Seperti yang dilakukan wanita lain yang sudah mendengaar lagunya. Aku mengambil secarik kertas berwarna merah muda yang biasa kugunakan untuk menyurati Alvern.  Kutuliskan semua isi hatiku. Kutuliskan pula mengapa aku tak bisa bersamanya. Tak lupa aku menuliskan bahwa aku mencintainya.. kulipat dan kuselipkan pada salah satu sela dinding di bawah balkon. Aku melangkahkan kaki pergi sembari aku menyeka air matakku yang tiba-tiba saja menetes.
           
“Athenaaa. Athenaaaa!!” Seru seseorang memanggil namaku.

Sepertinya aku mengelai suara tersebut. Saat aku menoleh, benar saja Alvern! Tanpa sengaja aku menatap matanya yang coklat secoklat kulit dari batang pohon oak. Mana mungkin aku tahan. Aku langsung berlari sekencang-kencangnya. Aku berlari menembus gang-gang sempit di Verona. Entah aku berlari tanpa arah. Kudengar derap kakinya semakin mendekat, saat kutahu ada kotak kayu usang tak terpakai dihadapanku. Seketika itu langsung kujatuhkan untuk memperlambat langkah kaki Alvern. Sesampainya di jalan besar aku menoleh kearahnya dan tanpa pikir panjang aku menyebrang jalan tersebut.

Entah bagaimana kini aku berlari seorang diri. Di sebuah bakery kecil diujung jalan Juliet aku bersembunyi. Belantara Verona tak mampu lagi menutupi lukaku. Kini aku harus berpacu dengan seorang yang kucintai. Alvern.