Lagi. Sebatang rokok terhimpit rapat dalam sela jariku. Menemaniku dalam kalutnya dunia. Senja telah tersugkur jauh dalam jatuhnya waktu. Petang kini membayang diantara gedung-gedung yang terlihat dari atas sini. Masih aku meresahkan hal itu. Sehari-harinya aku hanya mencari waktu. Bukan, bukan untuk memikirkanmu. Aku mencari waktu untuk meninggalkanmu diruang kosong bayang senduku. Agar aku tak selalu dan selalu memikirkanmu.
“Fuuuuhhh....”
kutiup jauh-jauh kepulan asap rokok ini. Seolah menghempaskan rasa letihku pada
asap itu.
Jujur.
Aku sebenarnya sangat lelah. Aku lelah dengan sifatku yang posesif ini. Aku
terlalu tidak mempercayaimu. Ya, setelah apa yang kamu lakukan. Membuatku seperti
ini. Tapi kali ini aku enggan membahas itu. Lagipula sudah bosan aku
mengatakannya berkali-kali. Sudah malam kedua ini aku memikirkan perubahan
sifatmu. Apa karena kitajarang bertemu? Entahlah.
Kali
ini tak ada alkohol yang menemaniku. Hanya secangkir kopi pahitlah yang menjadi
penenang pikiranku. Rasa kosong ini makin meluap setelah ku teguk sekali
minuman itu. Pahit. Rasanya seperti hidup ini. Tentulah aku membutuhkan sesuatu
yang manis bukan? Letihku juga membutuhkan tempat untuk bersandar. Terkadang
hanya dengan perhatianmu lebih cukup dari sekedar kasur yang empuk.
Seperti
malam sebelumnya. Aku ingin menceritakan sedikit tentangmu. Namun ijinkan aku
menghabiskan sebatang rokok ini terlebih dahulu.
Dia.
Ya, jangan bertanya. ‘Dia’ yang kuceritakan disini masih tetap sama yaitu kamu.
Dia. Pernah terbesit sekali, namun itu dahulu jauh sebelum aku menyayanginya seperti
sekarang ini. Aku menyesal mengenal dia. Jika aku tahu bahwa dia akan
menyeretku dalam ruam percintaan seperti ini. Lebih baik aku tidak akan
meresponnya. Namun takdir berkata lain. Setiap cinta mempunyai jalannya
masing-masing. Bahkan airpun tak tahu ia akan bermuara dimana. Seperti halnya
aku yang tak menyangka akan berani menancapkan jangkar dan berlabuh dihatinya.
Hmmm
sebenarnya aku tak ingin menceritakan masalah ini. sudah kukatakan diatas. Namun
hanya saja aku ingin berbagi sedikit di malam yang kian mendingin ini. maafkan
aku.
Dahulu.
Pernah suatu kali aku pergi. Entah untuk alasan yang hingga kini aku tak
mengerti. Namun ketika aku kembali, tak berselang lama. Bahkan untuk merajut
sebuah kainpun tak cukup waktu, dia sudah pergi bersama lelaki lain. Selama hidupku.
Baru kali ini aku merasakan ditinggalkan, bahkan menjadi sebuah pilihanpun
tidak.
Karma
tetaplah karma. Dibuang jauhpun akan jatuh kepada kepala-kepala yang
membuangnya. Tak lama mereka menumbuhkan tunas-tunas asmara. Cukup ia
menyiraminya dengan harapan. Dia pun dicampakkan oleh kekasih barunya itu. Ketika
melempar bumerang, benda itu akan kembali kepada sang pelempar. Pun dengan
cinta, maka ia akan kembali kepada orang yang tepat. Dan kembalilah dia
kepadaku. Untuk saat itu mungkin aku orang yang tepat.
Kini
aku dan dia sudah kembali saling mencintai satu sama lain. Untuk sebuah luka
yang kubiarkan menganga. Aku berusaha melupakanya, suatu saat aku yakin luka
itu akan mengering dengan sendirinya. Sudah dua bulan sejak kejadian tersebut.
Aku sangat yakin dia sudah melupakannya, bahkan tidak berhubungan sama sekali. Namun.
Tanpa sengaja aku melihat sebuah keganjalan dalam media sosial. Orang itu. ya
orang itu yang merebutnya dariku tanpa sengaja muncul dalam home media sosial miliknya.
Tidak
sama sekali aku menaruh curiga padanya, karna aku telah memercayainya. Namun pernahkah
kalian membayangkan bagaimana melihat orang yang kalian sayang. Masih berhubungan
dengan orang lain yang pernah membuat dia lupa dengan kita? Jika pernah
tentulah kalian tahu rasanya seperti apa. Seperti terjebak kembali dalam lomba
berenang melintasi lautan cemburu hanya dengan sebuah motivasi dan ego.
Cukup
aku menceritakannya. Aku sudah tak mempunyai rokok lagi. Hanya kopi temanku saat
ini. Aku merasa aku terlalu berlebihan menceritakan hal diatas. Ya aku akui
itu. aku terlalu perasa. Lebih baik aku tak menceritakanmu soal ini. biarlah
aku memendamnya sendiri.
“Tinggg
Tonggg” Bunyi bel rumah membuyarkan kemesraanku bersama lolongan malam.
“Siapa
yang bertamu malam gelap begini” gerutuku sendiri
Setelah
aku membuka pintu. Ternyata dia..
“Hai
Anthony...” sapanya ramah.
“Hai
Elisa, ada apa?” saat ini perasaanku campur aduk. Disuatu sisi aku ingin marah,
disisi lainnya gunung rindu tak lagi dapat menahan laharnya.
Setelah
kami duduk berdua. Di teras atas sambil memandang temanku bintang. Mulailah kami
dalam pembicaraan serius. Entah siapa yang memulainya aku harap akhir ini bahagia.
“Anthony.
Sepertinya ada yang sedang kau resahkan bukan? Aku dapat meilhatnya dari raut
mukamu. Aku kesini karena aku merindukanmu.. Sudah lama kita tidak bertemu
bukan?” ucapnya sembari memandang lurus kemataku.
“Iya.”
Sahutku datar.
“Apa
kau mau berbagi denganku?” Tanyanya.
“Maaf
aku terlalu kekanak-kanakkan.”ucapku sambil menunduk.
“Tak
apa, katakan saja” Senyumnya.
Kini
aku menceritakan soal perasaan dimalam itu. Malam-malam dimana aku merasa
perhatiannya sedikit berkurang. Kasih sayangnya, bahkan aku rasa itu ikut
memudar. Malam dimana aku merasa ia lah mencapai puncak kemenangan dengan
hadiah adalah aku. Namun aku tidak berani menceritakan apa yang kuceritakan
pada kalian malam ini. tidak, karena aku rasa aku berlebihan soal itu. Kini aku
hanya menunggu reaksinya saja.
“Hmmmmm”.
Elisa menghembuskan nafas panjang. Dan kemudian ia berkata kembali dengan pelan
dan tenang.
“Anthony..
maaf kan aku jika kau merasa begitu. Tapi sungguh aku tak pernah bermaksud seperti
itu. Aku masih selalu berusaha memahamimu....”
“Tapi
El.” Potongku
“Tidak
Anthony jadilah dewasa..” sahutnya cepat.
“heemmm”
aku hanya menghela nafas berat.
“Anthony,
aku masih sama seperti dahulu yang kau kenal, aku tak berubah sedikitpun. Kau yang
berubah anthony” senyumnya mengembang.
“Itu
mungkin rasa sayangmu padaku yang bertambah.. “ timpalnya kembali.
“Ya
mungkin saja benar..” sahutku kosong masih mencari celah dari arti kata-kata
tersebut.
Kemudian
tiba-tiba Dia menariku dan mendekapku erat. Dia memeluku dalam damai malam. Kini
bisa kurasakan saat degub jantung kami berpacu. Masih seirama, masih senada. Masih
sama seperti dahulu. Kami masih saling berlomba mencintai satu sama lain. Kini aku
mengerti maksudnya. Kini aku paham, dewasa terkadang membutuhkan akal. Tak hanya
hati saja. Mungkin saja benar, saat ini aku memenangkan lomba tersebut, ya aku
lebih menyayanginya lebih dari dia menyayangiku saat ini. Ah entahlah, mungkin
selama ini caraku yang salah mencintainya, namun cinta tetaplah cinta. Kotor bersih,
ia tetaplah cinta. Pun dengan dia. Baik buruk, akupun masih cinta.