Roman Picisan 4: Senja Terakhir Musim Dingin


                Hari membentang waktu, tak berselang lama dengan kejadian yang sebelumnya.  Dia, masih tentang dia. Mataku hanya berpendar pada sudut-sudut ruangan mencari sesuatu yang tak bisa kusebutkan itu namanya... Salju di Roma semakin hari semakin menumpuk namun aku sudah sedikit beradaptasi dengan musim ini.  Begitu pula dengan Belatrix, ia sepertinya sudah ‘kebal’ dalam salju. Hampir setiap hari ia bergelut dengan kesibukannya kuliah.  hubungan kami jarang mengalami masalah. Melodi bermekaran seperti Musim Semi yang indah pada Musim Dingin seperti ini. suasana flat pun tampak nyaman.
                Hampir setiap hari kami bercanda, tertawa, dan mungkin hanya sekedar mengobrol depan perapian. Kegiatan yang tampak membosankan dimata kalian adalah, Kebahagian dimata kami berdua. Senda gurau, rayuan dan canda mengalun memenuhi ruangan kami. Lagi. Aku sendiri termangu di ranjang ini. aku hanya terbisu entah untuk apa aku masih mealmunkan hal itu. Hal yang kucari disetiap sudut flat masih enggan menampakan dirinya. Aku mencoba menghubungi Belatrix lewat telephone genggam ini. sekali. Dia tak menggubrisnya. Dua kali,sinyal hanya terputus pada lebatnya hujan salju ini.
                Aku bangkit, kembali aku mengenakan syal dan jaket tebal ini. aku ingin berpergian dalam kota. Mungkin bisa meringkankan beban ku yang terlampau berat ini. walau aku tak tahu apa yang menjadi bebanku saat ini..  Suasana ketika aku keluar dari flat ini masih sama. Rytme salju masih merintikan keindahannya tiada tara. Begitu suci seperti cinta ini. kini jalanan Angiago dijantung roma sedikit ramai, salju yang dibersihkan memudahkan kendaraan berlalu-lalang begitu saja. Tiba di perempatan Avena aku ingin menyebrang kearah Toko Buku tersebut.  Gren light lampu untuk para menyebrang sudah menyala. Aku menyebrang duluan namun tiba-tiba saja dari arah kanan ada sebuah motor vespa yang tak bisa menghentikan lajunya.
                Kaki kiriku terlindas dan tanpa sadar, kini aku sedikit terbanting oleh badan depan vespa tersebut. Kami sedikit bercekcok antara aku dengan si pengendara tersebut. Cukup lama situasi hingga beberapa orang sempat menyudahkan konflik ini. diakhiri dengan penyesalan sang pengendara aku pun baik-baik saja. Hanya beberapa bagian tubuhku agak sedikit kaku bila digerakan. Karena sedikit bingung harus bagaimana, lalu aku memberi pesan pada Belatrix tentang kejadian tersebut. Setelah itu muncul serentetan Missedcall dari Belatrix. Beberapa pesan sempat darinya belum kubaca. Aku menyibukan diri di toko buku ini dan telephone selular ku aktifkan dalam mode silent. Namun satu yang membuatku sedikit salut. Dia begitu khawatir padaku.
                Mataku berpendar disudut ruangan ini mencari buku namun pikiranku tak fokus. Aku hanya memikirkan dia, sebegitukah khawatirnya dia. Hingga dia melemparkan kepeduliannya hanya untuk mengetahui secarik kabar dariku. Aku semakin mencintainya. Lalu aku tak tahan lagi untuk tak menghubungi dia. “Haloo Belatrix..” ucapku mengawali pembicaraan dalam telephone ini.. “Halo Romanov, kau tak apa-apa????” ucapnya penuh dengan nada kekhawatiran. “Aku tak papa Belatrix, sudah jangan khawatirkan aku. Namun terimakasih sudah mau peduli padaku ..” Aku tanpa sadar tersenyum sendiri. “Bagaimana bisa, aku sangat menghawatirkanmu Ro.. aku tak tahu mengapa aku bisa menghawatirkanmu hingga seperti ini..”Belatrix sepertinya sedikit menahan nada gusar karena aku baru memberi kabar mungkin. “bisakah kau temui aku di taman kota tepat jam 6 sore ini??” kataku. “bisa Ro, tapi apakah kau yakin akan berpergian dalam keadaanmu.. bukankah kau lebih baik istirahat di flat saja?? “ Belatrix memperingatkan keadaanku. “Tidak Bel, ku rasa aku mampu menemuimu tepat pukul itu..” kataku sembari memutuskan pembicaraan ini.
                Senja berlalu, aku melewaktkannya hanya dengan berbalas pesan dengan Belatrix. Mungkin terlihat ironis, namun aku tahu dia sibuk disana. Dan aku sangat menyayanginya apapun yang terjadi. Senja menggulung awan berlalu semakin jingga dilangit. Hujan seakan berhenti. Aku hanya melepas penat dari Toko Buku tadi. Mengelilingi jalan Theodrone di Roma suatu keceriaan yang pasti adanya. Taman diikelilingi pohon-pohon pinus yang berbau harum, serta bau basah hujan dan daun yang membeku oleh es adalah suatu pemandangan fantastis yang mungkin tak akan kau temukan lagi disudut dunia manapun kecuali di Roma. Jalan yang mengalun kearah yang mungkin tak kau ketahui dan di sisi jalan adalah pohon-pohon yang berdiri tegak seakan menyambutmu jika berjalan melewatinya.
                Jam 6 sore di Roma tidaklah terlalu buruk. Hanya matahari yang tenggelam terlampau cepat karena musim dingin ini. Belatrix pun sudah dalam perjalanan menemuiku. Hari ini kami berjanji untuk bertemu di taman ini. taman Auxdefper yang menunjukan keagungan dari pohon-pohon yang mengitari jalan setapak. Bernuansa seperti di dalam hutan, dengan bangku-bangku yang tertutup salju serta lampu-lampu taman yang membeku. Membuat taman kota ini begitu meriah menyambut keromantisan di Musim dingin. Belum lagi bebatuan yang tampak tertata di setapak jalan ini, membuat taman ini tampak benar-benar hidup.
                Sesosok senyuman yang kukenal tepat dibawah lampu taman tersebut, parasnya yang menawan, dengan aroma parfum coklatnya yang khas membuat jantung ini sedikit berdegub. Aku sedikit berusaha jalan kearahnya. Yah, kakiku masih sedikt sakit jika harus terus berjalan, nnamun hal sepele seperti itu tak kupedulikan. Sekarang hanya ada dia yang kupedulikan. Sesosok yang sedari tadi menghawatirkan aku. Sesosok yang sedari dulu mematung di hatiku.
                “Hai Belatrix...” sapaku ceria. “Hai Romanov, bagaimana kabarmu.. sepertinya kaki mu sedikit sakit yah??” ucapnya sembari memerhatikan kaki kiriku yang sedikit berjalan agak pincang. “Hanya kakiku yang sedikit tak ku ajak kompromi, diluar itu aku baik-baik saja. Melihat senyummu rasanya luka dan perih dunia sirna begitu saja...  hahaha” aku berusaha sedikit merayunya. Dan dia hanya tersipu malu melihatku. Malam akan kami lewati dengan hirauan dan canda dibawah bulan yang bercahay dibalik rintikan salju yang indah ini.
                Mengelilingi taman Auxdefper yang cukup luas ini. sesekali kami menggenggam tangan satu sama lain untuk mencuri kehangatan yang sengaja disembunyikan oleh gundukan salju ini. suasana begitu menenangkan hati. Lihat langit yang bersih menyisakan rembulan sempurna yang indah. Kami kembali ke flat dengan keadaan ceria layaknya orang yang berdua pergi bermesraan sepanjang hari, walau hanya seperlima malam yang kami miliki dan nikmati. Seketikanya tiba di flat kami sudah tak tahan dengan kelelahan dan langsung saja melampiaskan pada ranjang dan selimut itu.. sebelum tidur lagi-lagi aku menyelipkan doa kepada Tuhan Yang Maha Agung, agar Belatrix tetaplah disisiku. Sekarang dan selamanya. Setelah kuletakan itu pada rentangan bintang yang mengelilingi Dia. Aku terlelap nyenyak dan semakin dalam. Berharap bisa melukiskan kemesraan kami dalam sebuah mimpi indah, berharap ketika terbangun gulungan mimpi itu bisa menyembul keluar dan menjadi nyata.
                Pagi kini melintang di sela-sela awan Roma.  Jam alarm berbunyi nyaring membangunkan aku yang terlelap dalam buaian mimpi mengudara dalam hembusan salju berliku.  Musim ini menjebak Roma dengan pelukan dinginnya, membuat Roma seakan beku dalam haluannya. “Pagi Belatrix!!!” sapaku setengah semangat menyambut semangat pagi, bersiap membuat secangkir coffe late hangat ala Brazil. Berencana menyambut dinginnya dunia dengan secangkir kehangatan bersama sesendok cinta darinya.. namun tiba-tiba aku mencari Belatrix, sepertinya ada di kamar mandi. Aku lalu meneriaki namanya di setiap sela ruangan flat ini. namun tak ada balasan. Tak ada suara hanya hening yang menerpa. Hanya sepi yang menjerit. Kuhubungi lewat telephone ini namun tetap tak ada jawaban. Hanya keheningan dan suara operator disebrang sana yang menyahut.
                Mungkin ia pergi kuliah terlampau pagi pikirku, namun lemari pakaian terbuka lebar dengan setengah dari isinya sudah kosong. Itu berarti tak ada lagi barang Belatrix yang tertinggal dalam lemari ini, pun dengan barang lainnya. Setelah kuperiksa ditiap sudut mencari barang Belatrix yang masih tersisa untuk meyakinkan diriku bahwa ia akan kembali lagi suatu saat nanti. Namun Nihil. Yang tersisa satu-satunya adalah sebuah ukiran namannya dihati ini. hanya itu. Hanya sebuah bayang gelap wajahnya yang tersimpan erat direlung ingatanku.
                Kini aku berusaha menghubungi semua saja dikontaku yang berhubungan dengan dia, sia-sia semuanya sia-sia. Pupus sudah semua cerita cintaku. Pupus semua sudah harapanku. Sirna sepertinya dibuatnya, dengan tanpa kejelasan seperti ini. membuat cerita tampak menggantung, namun setidaknya lihatlah. Aku hanya tahu satu kepastian. Dia benar-benar pergi meninggalkanku. Tak ada kabar- tanpa jejak tanpa apapun itu yang menyisakan isyarat tentang nya. Yap. Hanya ingatanku tentangnya yang berpendar dalam semakin dalam, semakin larut terhanyut oleh malam.         Kini hari ketiga sudah dia tak kunjung berkabar, aku masih mecari disudut-sudut ruangan ini, kau tahu apa hal yang kucari. Aku hanya mencari kesalahanku.  Aku bergemelut dengan penyesalanku yang bahkan aku tak mengerti. Bukankah aku sudah mengirimkan pesan “maaf” untukmu. Bukankah itu tak hanya sekali. “aaaaaaaaaaaaaaaaarrrrrgghh” kau benar-benar menyiksa batinku, kau benar-benar menyisir relung dalam jiwaku.menorehkan luka tanpa harapan. Menikam erat jantungku. Hanya berharap jiwa ini masih memiliki hati walau mulut ini terus berucap “kembalilah”, namun .. tetap saja jemariku menuliskan kata “aku rindu..”.
“Waiting for your call, I’m sick, call I’m angry
Call I’m desperate for your voice
I’m listening to the song we used to sing In the car,
Do you remember, butterfly, early summer?
It’s playing on repeat,
just like when we would meet Like when we would meet”

                Tiba-tiba saja lagu itu mendengung keras di ponsel ini. hanya playist lagu yang tak sengaja ku tekan tombolnya. Aku melempar ponsel ini kearah pojok tembok ruangan ini. hingga ponsel itu berkeping, lalu aku lempar lagi kepingan itu hingga menjadi kepingan yang lebih kecil lagi. Lalu aku hancurkan lagi bagian kepingan-kepingan kecil itu hingga menjadi serpihan seperti serpihan dalam hatiku. Kini aku benar-benar digeluti perasaan aneh tentang lagu ini. bukankah dia yang mengenalkan lagu itu..
                Aku mengulangi lagi kebiasaan lamaku. Membuat luka ditangan seperti yang sudah-sudah, bukan maksudku aku Saiko. Namun aku hanya ingin membenarkan ucapanku “bahwa luka tak hanya bersandar dihati..” aku ingin melukai tubuhku hanya karena aku ingin melupakan luka dihati dan mempedulikan luka ditubuhku. Namun apa daya, kau menyayat nadi ini dan membuat luka ini tetap menganga. Tanpa kusadari aku hanya merintikan deruan isak tangis yang tak bisa kupahami “Tuhan, bukankah kau bisa lakukan apa yang tak bisa kami lakukan, bukankah apa yang kau mau itu semua terserah padamu, Tuhan bahagiakanlah diriku lagi.. Tuhan buat dia kembali.. Tuhan.. “ aku hanya terduduk lemas. Tangis ini semakin menderu mengalahkan hembusan angin salju diluar. Brengsek, aku ingin membungkam mata ini agar ia bisa berhenti menangis, aku ingin menyumpal mulut ini agar berhenti terisak. Aku ingin mengikat semua kepedihanku agar tak lagi bebas menggandrungi ku.
                Aku disini masih terikat cintamu, aku berusaha melepaskan tali ini, mengguntingnya, memotongnya. Namun apa daya, cintaku hanyalah sebuah ketulusan.
                Terlalu membekas semua gelak tawa, cinta dan kemesraan yang kita ciptakan Belatrix, apa yang membuatmu pergi meninggalkan aku. Apakah aku terlalu melukaimu. Jika begitu bukankah kita sudah impas?? Kau telah berhasil dengan caramu pergi meninggalkan aku yang masih terbelenggu dalam relung jiwamu. Cerita kita memang indah seperti PELANGI! Bahagia sepertinya, tapi bukankah Pelangi itu hanya sesaat.. Tidak! Bukan itu yang aku maksud.. tidak.. aku .. tidak.. emmm..  aku menutup mata ini lalu kuhitung kembali kelipatan lima hingga lima ratus.. lima.. sepuluh.. limabelas.. duapuluh.. duapuluhlima.. berharap saat hitungan ke lima ratus dan aku membuka mata ini kau hadir walau hanya dalam bentuk sebuah pesan.. kini  aku hanya hampa. Namun terimakasih Belatrix, kau ajarkan aku dua hal yang paling berharga di Dunia. Kebahagiaan dan Kepedihan. Kini aku hanya sepi dan malam menjadi larut dengan salju.  Tapi!! Sedalam apapun atau bahkan setinggi apapun rasa sakit ini, tolong kembalilah aku masih menyayangimu disini. Tubuhku hanya membujur kaku depan perapian padam ini, jendela samping menganga lebar. Mengetupkan angin dan salju dingin. .. “Tolong Kembalilah..”
                Cerita cinta memang tak perlu berakhir bahagia, cerita memang tak selalu berujung kebahagiaan. Meskipun arti cinta adalah bahagia sungguh cinta tak perlu berakhir bahagia. Mungkin ini adalahakhir perpisahan cinta mereka. Mungkin Romanov dan Belatrix benar-benar akan menemukan cinta sejatinya. Walau mungkin mereka adalah sebentuk cinta seperti bulir salju yang suci walau dingin. Meski hingga kini Belatrix entah tak berkabar seperti pasir yang tertiup angin dibalik kemelut salju yang tebal, namun Romanov masih menunggunya. Sekali lagi Roma hanya terpukau melihat mereka. Cinta mereka sebenarnya adalah Abadi..