Roman Picisan 5: Belatrix - Romanov



Belatrix!
   “Z
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinggggg!!” Dekapan salju mengudara bersama puluhan bangunan pencakar langit yang membentang di seluruh penjuru kota ini. kepakan sayap merpati mengilalang diantara gemuruh suara broadway disetiap samping jalan ini. NewYork! Hamparan kota diantara puing pudaran budaya yang semakin pluralisme. Disetiap sudut kota hanya diatap gedung saja kau bisa menemukan langit bebas. Karena dari bawah sini kau hanya melihat ujung atas gedung-gedung itu. Suasana bising meraup kesadaran ini. mencoba untuk move on namun aku tak dapat menggapainya. “Romanov...” keluhku pelan.
            Saat ini ego dan nuraniku sedang bertarung. Diujung hamparan musim dingin yang makin menutup diri dan berganti semi. Aku masih merasakan kehangatan Romanov. Jauh sudah aku pergi dari Ittaly. Jauh sudah Venesia dan Roma kucoba kukubur namun tetap saja ada yang berusaha menggali dan mengelurakan melodi ingatan itu. Kucoba kutekan nurani ini, membesarkan ego berkali-kali lipat. Namun nurani itu selalu mencoba berontak keluar. Dan tubuhku pengap akan mereka berdua. Pikiranku pun sudah semakin lelah dengan semua ini. terkadang aku bingung.
            Aku terlalu takut untuk menyakiti hatinya yang lembut. Entah karena apa aku hanya terlalu takut. Dia begitu sayang padaku. Pun dengan aku.. namun ada suatu hal yang susah aku ungkapkan mengapa aku takut dengan perasaan ini. lalu aku memutuskan untuk pergi, jauh sangat jauh. NewYork. Meninggalkan semua tugas dan perkuliahanku. Mencoba melepas semua beban namun mengapa beban menjadi begitu berat dari sebelumnya. Aneh. Lagi-lagi aku menemui kebuntuan yang menutupi semua jalan terbuka di otaku. Kini aku ingin menuju 5th Avenue. Jalanan yang terkenal dengan Broadway dan Soap Operanya. Aku ingin melunakan pikiranku yang terlalu kaku ini. siapa tau dengan musik-musik ini akan lebih mudah melunakannya.  
            Aku melangkahkan ke gerbang City subway. Kereta bawah tanah andalan warga newyork ini menjadi penghubungku dari Albahama ke Avenue. Kereta yang lengang dan jarak yang cukup jauh membuatku ingin beristirahat sebentar. Namun kesepian yang kurasa, bukannya aku bisa beristirahat dengan tenang namun aku hanya memikirkanmu disetiap sela-sela jendela otaku yang lelah ini. “Sial!” saat kubuka telephone genggam ini hanya berisi sms darimu yang memohon maaf, atau kubuka jejaring sosial ini hanya berisi ungkapan penyesalan atas kesalahanmu, bahkan kau tak melakukan kesalahan Romanov..  tidak! Aku tidak boleh luluh, ego ini akan aku perkuat, kupersenjatai dan kubentengi jika nurani kembali menyerang.. aku belum boleh menyerah
            Akhirnya tiba ditujuanku. Jalanan 5th Avenue terbentang bermeter-meter jauhnya, pemandangan gemerlap kota tertata dimataku, namun satu yang pasti. Dimataku hanya kupandangi gelak tawa dan perhatianmu Romanov.. aku melangkahkan kaki mengitari setapak Avenue, kulihat berlalu lalang orang bermesraan dengan bergandengan tangan, atau bahkan tangannya meringkuk dalam saku jaket pacarnya dengan tetap bergenggaman.  “Ah dingin sekali disini, bukankah ini sudah dipenghujung musim dingin?” sembari kedekatkan tanganku kemulut dan memberinya uap agar aku merasa hangat. Lalu ku gosokan kedua telapak tangan itu berkali-kali agar sekujur tubuhku juga merasakan kehangatan. Sia-sia sepertinya
            Sudah beberapa hari ini aku hanya makan sepotong roti, sepertinya rasa laparku sudah hilang. Akupun lebih sering tak nafsu makan dan memikirkannya. Romanov.  Hari ini aku sudah memesan kursi B3 kursi istimewa di Celinston Broadway and Drama Musical khas New York. Namun untuk melangkah ke Celinston rasanya kaki ini begitu berat. Bukankah tadi pagi aku sudah memakan sepotong sandwich. Yah tadi pagi. “Astaga betapa bodohnya aku..” aku menggeram dalam-dalam ini sudah pukul 8 malam, dan aku hanya memakan sepotong sandwich tadi pagi.. kepalaku berdenyut dan berkeliling. Tiba-tiba saja luapan memori dan bebanku berputar semuanya menjadi satu. Salah satunya ada dia. Ro..  tiba-tiba aku tak merasakan lagi dentuman lalu-lalang kendaraan atau bahkan gemerisik NewYork kini aku terhempas diantara salju-salju Avenue. “Tiiiiittt... tiiiiiiitt.... tiiiitttt...” terdengar Monitor Pasien tepat disampingku. Ternyata aku sudah terkapar di Rumah sakit. Tanpa seorangpun disisiku, hanya seorang dokter yang bercuap menjelaskan detail mengapa aku berada di Santana Christine Hostpital, yang kebetulan kuketahui nama rumah sakit ini dari cuapan dokter tersebut. Tak kupedulikan lagi ucapan dokter tersebut. Aku hampa disini. Kulihat ada satu pesan dari Ro.. dia hanya memperhatikan aku sepertinya, tak kuasa lagi aku membendung semua ego yang bodoh ini.
            Semua sifat yang menutupi diri sendiri untuk tak menerima kepeduliannya luluh sudah hancur sudah. Hanya ia yang menjadi segala aktifitasku belakangan ini, betapa kacaunya aku bila saja aku menghilangkan diadari hidupku. Dia terlalu penyayang dan aku sangat ingin mendapatkan kasih sayang itu sekali lagi. Tak peduli lagi keadaanku yang kata dokter itu harus beristirahat, aku pun membalas pesannya “Ro maafkan kebodohanku selama ini ro.. aku masih menyayangimu.. sekali lagi maafkan aku.” Ku kirim pesan itu dan aku terlelap berharap esok pagi adalah indah adanya. Meski cinta kami terbentangi samudra pasifik sekalipun.

Romanov!
D
i sela-sela matahari pudar malam menyingsing. Aku masih tersudut diam dibelahan cinta yang kuputari. Aku masih ingin seperti mu, yah aku ingin menjadi sepertimu. Disukai dan disayangi. Dikelilingi banyak orang hingga bahkan kau tak menyadari ada seseorang yang hingga kini menyayangimu. Kau Mempunyai perhatian yang berlebihan hingga kau tak memahami ada seseorang yang mencintaimu disini. Aku terkadang bahagia hanya karena memikirkanmu tersenyum. Simple bukan? Yah simple itulah bahagia yang kumiliki saat ini.
Walau kini kau tak adalagi dalam setiap pagiku. Seduhan kopiku menjadi dingin di tiap hembusan aromanya. Aku mengatur kembali jadwalku yang kacau, aku mengatur lagi kesibukanku, mungkin agar aku dapat melupakanmu. Walau kenyataannya ditiap tetes air mata ini masih mengandung namamu. Ketauilah Belatrix aku mencintaimu.. mengapa kau tega meningalkan aku disini.  Diantara kepadaman cinta yang bahkan tak kumengerti, dibelantara kegelapan Eropa yang menjadi ancaman terbunuhnya cintaku kepadamu.
Pemandangan masih sama di Venesia, aku tak lagi hidup di Sestieri, karena kanal-kanal hanya mengingatkanku padanya. Venesia tampak seperti kota kelabu. Musim dingin menjadikan segalanya lumpuh, meski seharusnya aku libur bekerja. Namun aku lebih memilih bekerja karena dengan kesibukan aku bisa perlahan melupkanamu Bel. Munafik!! Kata yang berdentum keras dikepalaku. Munafik aku menggunakan kesibukan sebagai alibi untuk meninggalkanmu. Jika begitu mengapa aku harus repot-repot ditiap pagi dan akhir petang memberimu pesan agar kau tak lupa makan. Agar kau tetap selalu menjaga kesehatanamu. Itu karena aku sayang padamu Belatrix. .
Tanpa sadar aku mengepalkan tangan ini dan menonjok kaca yang menjadi alas meja kerja hingga kaca itu berkeping dan runtuh bersama bulir-bulir darah segar yang menetes lambat dikepalan tanganku. Dengan begitu akhirnya akupun bisa memperhatikan rasa sakit ditangan ini daripada rasa sakit dihati.. tak puas dengan itu rasa amarah, rindu, keputusasaan mendorongku untuk melakukan hal yang lain. Menggonakan serpihan kaca itu untuk mengoreskan kepada kepalan tanganku yang lain. Hingga darah merah ranum menetes indah disetiap kehancuran yang kau berikan..
Memikirkanmu disetiap hembusan nafasku membuatku ingin menyerah. Ya bukankah ini sudah disekian hari aku hanya memberi pesan padamu tanpa balasan. Hanya angan kosong saja yang kukumpulkan. Apakah kau begitu mengabaikanmu. “Aku sayang padamu Belatrix..” kata-kata yang tak sengaja kukeluarkan sembari menyeka darah ini.  Begitu salahkah aku dimatamu hingga kau tega meningalkanku di antara timbunan salju Eropa. Apakah kau berharap aku bisa menghangatkan diri dengan membakar puing-puing cinta kita?? Kau salah .. cinta kita mungkin hanyalah puing usang namun itu indah. Seperti saat kita mengunjungi kota Pompei sebuah kota puing-puing namun indah. Yah cinta kita indah. Seperti pelangi kubilang.
            Sudah waktu diakhir petang untuk menyudahkan pekerjaanku, saat inilah yang paling kubenci. Saat aku harus memasuki lagi relung kesepian dan kesendirianku di apartemen yang baru kusewa di antara Alchatros dan Fabiroo. Sampai sudah aku diruangan apartemen ini, sama seperti beberapa hari sebelumnya, dingin, petang dan tanpamu disisiku. Ditiap aku berdoa aku memangku namamu. Disetiap bait puisi yang kuciptakan, disitulah kamu sebenarnya. kau seperti tak tenggalam walau wujudmu tiada, walau cakrawala ini ingin menyentuhmu dan memelukmu sekali lagi, kau memang benar-benar asap. Kembali disisi malam aku memandangi bintang penuh tanya, kembali aku buka jejaring social dan semua pesan itu hanya bertanda ‘Read’ reda sudah perjuanganku, reda sudah usahaku semuanya sisa-sia. Hari ini akan kuakhiri dan segalanya akan kuperbaharui, tapi sebelumnya aku hanya ingin memberi pesan terkahir untuk Belatrix “Jagalah kesehatanmu bel, janganlah telat makan. Aku menyayangimu. Romanov.”
Kiniku masuki kamarku yang pekat oleh bau alkohol dan aku menarik selimut dalam-dalam semoga perasaan ini cepatlah tertimbun bahkan tenggelam seperti senja. Namun sayang senja itu hanyalah semu ia memang tenggelam namun ia akan terbit lagi dikemudian hari. Tiba-tiba telephone genggam ini berbunyi. Kulihat satu pesan dari Belatrix “Ro maafkan kebodohanku selama ini ro.. aku masih menyayangimu.. sekali lagi maafkan aku”. Begitulah isinya. Senyumpun mengembang. Muka ku yang sekusut lekukan salju di jalanan berubah secerah musim semi yang bertebaran indah dilangit. Aku memang tak mengetahui ia berada dimana. Namun aku yakin cinta kami sedang mengudara bebas menyebrangi angkasa tinggi.  Terimakasih Tuhan, aku mencintainya hingga esok pagi dan pagi-pagi yang lain