Roman Picisan 3: The Ethernal City of Roma



                Musim gugur tak lama telah berlalu. Ini hari ke tiga di musim dingin. Diantara seluk beluk Roma, musim dingin di minggu pertama cukup menerjang deras mematikan sebagian aktivitas kota. Yap, aku memutuskan pindah ke Roma untuk sementara dan menemani kuliah Belatrix. Untungnya musim dingin di Venesia membuat sejumlah perkantoran libur, termasuk kantorku sendiri.  Suhu yang mencapai garis minimum di Flat ini membuatku sedikit tak betah untuk beralih dari depan perapian ini. Secangkir coklat hangat kuseduh semabri menaburkan kehangatkan kaki-kaki yang mulai membujur ini. “Bukankah seharusnya Belatrix sudah pulang? Pergi kemana ia?”. Lalu akupun termenung menatap kobaran api dalam perapian, melihatnya bercahaya kuning, orange, dan sedikit merah dibara kayunya. “huufff, pikiranku tak bersudut sekarang, setiap pikiranku melangkah pergi. Hanya Belatrix yang kutemukan menjadi pusat dari semua pikiranku, apakah ini yang namanya cinta? Indah juga..” sekarang aku tampak seperti orang gila yang berbicara sendiri.
                Aku beranjak pergi dari perapian, meskipun dingin aku bosan jika harus memandang perapian sempit itu. Kini aku terpaku pada jendela di Kamar. Salju yang turun rintik-rintik membuat Roma benar-benar mati dalam terpaan lilin-lilin sudut kota. Bukan mati yang seperti kalian pikirkan. Maksudku saat ini Roma benar-benar ‘mati’. Keindahannya membuat mati seluruh tubuh untuk tetap diam memukau jalanan Ottaviano dan Agnania. Kami beruntung mendapatkan sebuah flat berwarna krem, yap semua flat dan bangunan roma rata-rata berwarna krem. Namun yang membedakannya adalah flat kami tidak memasuki gang-gang sempit yang bertebaran di Roma, flat kami diujung persimpangan jalan Ottaviano dan Agnania. Dengan pemandangan kota yang kurang tertata dan pasar mati di sudut kiri jalan membuat kami tak bosan memandangi Roma.
                Jalanan depan flatku tampak lengan, bisanya banyak Vespa melintasi jalanan ini. namun mungkin karena tertutup lebatnya salju hanya beberapa orang yang berlalu-lalang. Lalu kubuka jendelaku angin dan hawa dingin berhembus masuk menggetarkan tubuhku. “tidak cukup” ucapku, kembali menutup jendela kaca itu. Aku mengambil syal dari lemari, lalu melilitkannya pada leher dan memakai jaket bulu yang cukup tebal. Aku kemudian bergegas menuruni anak tangga flat ini dan keluar dimusim yang mematikan ini. salju turun begitu megah, sesekali terdengar lonceng-lonceng kota yang memadukan iringan salju turun, begitu putih begitu suci. Kemudian aku mendongakkan kepala melihat keatas langit dan... terpampanglah wajah Belatrix di angkasa pikiranku. Entah mengapa aku sekarang sedikit tampak khawatir dengan keadaanya. Sudah lewat Dua jam ia tak pulang dan tak ada kabar. Salju lebat menutupi sinyal komunikasi. Aku lalu mengitari sekitar jalanan Avengue yang menjadi garis hubung Flat dengan Tempat Belatrix kuliah. Disudut situ ada taman Boulgavire yang mengitari lago ghiacciato1.
                Salju masih melambai-lambai, menghinggapi aku yang terengah-engah mencari disudut taman ini. seketika kulihat sesosok yang kukenal sedang merengkuh kakinya sendiri diatas bangku taman. Matanya hanya berpandangan kosong menghadap ke danau beku itu itu, pundaknya dipenuhi dengan butiran-butiran salju kecil. “Belatrix..” lirihku dalam hati. Apa yang ia lakukan disitu. Aku mengamatinya dari balik ranting-ranting pohon ini. Di musim dingin seperti ini taman bukanlah pilihan yang tepat untuk menghabiskan waktu dan bersantai seperti yang kulihat. Sepi mengalun menjelajahi rona-rona Taman Boulgavire ini, hanya ada beberapa sepasang muda-mudi yang asik bercengkrama berjalan bersama. Hatiku sedikit terperanjat melihat Belatrix seperti itu, sudah makankah ia?? Batinku dalam hati. Aku tahu bila ia mempunyai Anemia. Aku takut sewaktu-waktu ia tak sadarkan diri.
                Lalu aku memberanikan diri mendekat pada Belatrix, meskipun aku tahu jika aku mendekatinya saat ini pasti ia akan mengusirku pergi. Namun aku tak merisaukan hal seperti itu. Kini aku tepat dibelakangnya. Suasana semakin sunyi, disini hanya ada aku, Belatrix dan salju. Aku memulai pembicaraan..  “Belatrix.. apa yang kau lakukan disini?” ucapku hati-hati.  “Pergilah Romanov, aku tak ingin diganggu..” ucapnya dingin, sedingin Roma senja ini. aku sudah menduga bahwa ia akan mengucapkan hal seperti itu. Namun aku tak peduli kini aku duduk disampingnya, kusapu salju yang duduk dibahunya. Lalu aku merengkuhnya, aku bisa merasakan bahwa ia menggigil seperti aku.
                “Belatrix, apakah ada yang ingin kau katakan padaku” aku menatapnya pelan, matanya berkilau memantulkan danau es yang mulai menghitam seiring waktu. Masih hening..  “Katakan saja Belatrix jika ada yang mengganjal pada hatimu..” aku berharap kali ini ada balasan dari Belatrix.  “Romanov...” dia berkata lirih, hampir tak terdengar.  “iyaa. Apa yang mau kau katakan Belatrix.” Aku  sedikit gugup. Badai apa yang membuatnya begini.  “Ro.. aku lelah dengan semua ini..” ucapnya.  “Hah? Apa maksudmu Belatrix.. kau lelah dengan apa” Aku sedikit terkejut mendengar pernyataannya.
                “Aku lelah, aku terlalu memendam rasa ini terlalu dalam..” katanya. “Rasa apa Belatrix, katakanlah padaku kali ini.. mungkin aku dapat membantumu meringankannya” aku tulus ingin membantunya melepaskan perangkap ikatan dihatinya itu. “Aku tak bisa menceritakannya Roo.. terkadang rasa ini begitu Absurd sehingga aku tak mampu untuk menerjemahkannya sendiri..” Bibirnya bergetar menahan dinginya tempat ini. Senjapun berlari mengejar siang. Kini malam tepat berada diatas bayangan ku dan dia. “Rasa itu seperti apa..”  aku menuntunnya menjelaskan situasi yang sedang dihadapinya saat ini.  “Aku sendiri cukup bingung, aku tak tahu harus melampiaskannya pada apa, terkadang aku memang hanya benar-benar ingin memendamnya dalam-dalam agar aku dan kamu tak saling tersakiti, aku menyayangimu..” ujarnya.  “Belatrix, kau tahu aku juga menyayangimu, cobalah untuk sedikit tidak memendam perasaanmu, biarkan ia keluar dengan gejolak emosimu, lalu biarkan aku meredupkan emosimu itu...” dimataku kali ini dia sungguh-sungguh berfikir dewasa, dia tak hanya memikirkan dirinya sendiri namun dia juga memikirkan diriku. Lagi-lagi aku dibuatnya berdecak kagum.
                “Tidak ro, bukan begitu. Terkadang hingga sekarang aku masih dibutakan cemburu, namun terkadang aku merasa sayang, marah padamu, dan lain-lain... aku hanya ingin melemparkannya pada es di danau itu...” belatrix berkata dan matanya pun sedikit berkaca-kaca.  “Mengapa tidak kau ceritakan padaku Belatrix, seharusnya bukankah kau ceritakan padaku apa yang menjadi perkaramu.. aku siap menjadi wadah emosimu..” ucapku pelan.  Kupandangi Belatrix kali ini,namun bukan paras wajahnya yang terpampang dimataku, sifatnyalah yang membuatku gila mencintainya.  “Ro banyak hal yang tak kau ketahui dari diriku, namun kumohon biarkanlah aku memendam perasaan ini hanya untuk diriku..” kini wajahnya menoleh padaku. Kami berhadapan, menara jam yang tertancap didanau ikut membekukan waktu untuk beberapa saat. “Baiklah jika itu maumu Belatrix, kuhargai privasimu itu. Namun jika kau membutuhkanku untuk bercerita ingatlah, aku ada disetiap waktumu.. tidak semua orang bisa selalu memendam perasaannya. Suatu saat mereka juga harus terbuka Belatrix..” aku menekankan kata-kataku bahwa ia tak harus sendiri memikul berat masalah pada pundaknya. Bukankah kita bisa berbagi pundak, begitu pikirku dangkal.
                “Terimakasih ro, aku mencintaimu..” Belatrix melingkarkan tangannya pada pinggangku. “Aku juga mencintaimu Belatrix.. sungguh” aku semakin memepererat rangkulanku. Suasana semakin dingin malam di taman Boulgavire ini, salju semakin lebat turun. Dan menyisakan kami berdua yang masih beradu pandang di sela-sela malam. Danau es yang bening sebening kristal dan memantulkan cahaya bintang Claudius, Ptolemaeus, Almages2. Tiba-tiba terdengar alunan musik dari menara jam danau itu..
if you do not believe in love
I do not know what else to prove
but you can kiss me now
feel the warmth of my lips
look on the sidelines cavity
of my heart
find the thread that does not belong to us
there is only us here, and there's only you
in my heart

                Lagu itu mengalunkan suasana hati yang tak berbicara. Kini yang kurasakan adalah kehangatan bibir kami yang saling bersentuhan, bermandikan lebatnya salju dalam lautan bintang diatas. Bukankah ini Cinta, tak berbicara, tak terlihat namun kita rasakan... sekali lagi terimakasih Belatrix ucapku dalam hati. Kini dewi Orfeus memainkan harpanya membentuk Orfik3 pada melodi Cinta kami..

1lago ghiacciato                             : Danau yang membeku
2Claudius, Ptolemaeus, Almagest  : Rasi bintang terindah yang tercipta di Italia saat musim dingin  Pertama
3Orfik                                            :  Hasil karya Orfeus(dewi musisi cinta mitologi yunani) yang mampu menghidupkan bumi, surga dan tanah.