Sunyi melambung, mangangkasa tinggi,
kemudian jatuh disela-sela bukit tepat disamping ku berdiri. Lagi, aku menatap
bulan. Bukan bulan yang aku inginkan hadir dimalam ini. namun matahari yang aku
dambakan, dan aku hanya dapat melihat pantulan sinarnya dari satelit bumi itu. Lagi-lagi
hanya sorak-sorai angin yang menerabas ilalang pekat bukit malam ini. berdiri
disinipun tak berguna, hanya kaki yang menopang, tidak dengan hati yang sudah
terkulai.
Menunggu dan menunggu, menunggu
datangnya pagi, menunggu jemputan fajar, lalu melambai pergi kepada malam. Ingin
rasanya aku berada dipelukanmu, namun menggapaimu saja itu terlalu fana. Kini aku
menembangkan sebuah melodi. Melodi hitam tentang seutas dirimu yang terlalu
maya untuk kuraih dan Terlalu bayang untuk kugenggam. Rumput-rumput gelap ikut
bernyanyi, daun-daun beringin pun mulai menari. Hingga mereka lelah pun aku tak
menemukan batang hidungmu muncul dihadapanku. Aku bukan mereka, aku belum
pernah lelah, namun sadarlah. Lirik ini sudah terlalu panjang untuk
kunyanyikan.
“Sebuah angkasa dalam
angan, sebuah cinta dalam harapan. seperti menggenggam semesta dalam tangan,
seperti menduduki bintang dengan impian. Aku terlalu lelah menjadi manusia. Menjadi
sebuah liku-liku tanda tanya dibalik athmospher ini.. Akankah berhenti? Akankah
berakhir.. rasa rindu ini terlalu kental namun masih sama.. seperti udara yang
ku coba untuk kugenggam, hanya kosong.. hanya kosong...”
Dan lagi aku hanya bisa tertidur dibalik selimut sepi ini,
menunggu hangat sinar darimu. Menunggu tanda-tanda percikan kabar darimu. Hingga
nanti berakhir di senja yang biasa kau lewatkan.