Mendiang Ibu

 
D
ia terdiam. Membisu  meratapi sebuah gundukan tanah yang berbunga diatasnya.  Namun jemarinya tidak diam, jemarinya terus bergerak mengelus-elus sebongkah batu  nisan hitam yang menancap diujung gundukan tanah tersebut.  Sedari tadi mulutnya terbungkam dan kepalanya bersandar di nisan itu, seakan bernostalgia dengan kenangan masa lalunya. Tertulis sebaris tanggal tepat 9 Tahun yang lalu.  Semakin jelas terlihat dari matanya, ia merindukan sebuah sesosok, sesosok yang sebenarnya tak ia kenal dengan baik, sesosok yang belum sempat mendampingi ia wisuda namun sudah terbujur kaku di dalam tanah tersebut.
              Senja menggantung diangkasa, mega-mega menggulung lautan athmosfer. Sehingga terciptalah sebuah jingga dipermukaan langit sana. Dia enggan beranjak pergi dan masih terduduk disitu. Kini tangannya hanya mengaduk-aduk bunga diatas makam itu. Makam yang ia harapkan tak ada disitu. Makam yang ia harapkan bukan sesosok yang ia inginkan terkubur disitu. Sesosok yang ia harapkan mampu menemaninya berbuka puasa, membangunkannya untuk sahur dan mampu mengisi tawanya di hari lebaran. Seseorang yang ia harap bisa ia cium tangannya disetiap ia berangkat kerja.  Seseorang yang selalu mengingatkannya waktu  makan, solat dan mengaji.  Dan seseorang yang bisa membangkitkan dan memeluknya saat terpuruk dalam keputusasaan.
  Kini sepi meraung dan kelam tertawa hangat dipundaknya. Sekarang matanya mulai meleleh dan memanggil-manggil nama ibunya. Semakin deras air matanya turun semakin pula aku tak tega melihatnya. Sekarang mungkin ia sedang mengingat sembilan tahun yang lalu. tepat saat ia duduk di bangku sekolah dasar, kelas empat.  Dimana saat-saat ia masih bisa dipeluk dengan hangat, merasakan dekapan yang amat ia dambakan dari seorang ibu. Dimana saat ia masih bisa menggandeng jari-jari ibunya saat mengambil rapot, atau tertidur dalam pangkuannya. Kini hanya menjadi kenangan saja.
Sekarang kudengar kini ia berbicara sendiri lagi pada gundukan makam yang terbisu itu... “Ibu...  Kali ini aku berjanji untuk tidak menangis, karena aku tahu bahwa Ibu bahagia di rumah ALLAH, Ibu.... Aku datang dengan membawakan Ibu segenggam mawar dan air mawar, aku datang untuk membersihkan rumput liar di pusara Ibu dan aku datang untuk membersihkan nisan indah hitam terlukis nama Ibu dengan tinta emas, dan aku datang bersimpuh disamping Ibu, menggelar tikar kecil dibawah pohon kamboja nan rindang, membuka surat Yasin dan terus berdoa dan maafkan aku jika akhirnya aku tidak mampu membendung sungai kecil diujung mata yang jatuh, menyentuh pipiku hingga ke dagu dan jatuh membasahi baju hitamku… Aku KANGEN Ibu, aku kangeeen.... ” kemudian ia benar-benar menangis dipusara ibunya.
Kini aku mengingat disetiap kali aku bermain dengannya. Selalu ada senyum diwajahnya dan selalu ada keceriaan yang ia bagikan kepada temannya. Aku tahu, Dia hanya berusaha tegar namun matanya sulit sekali menyembunyikan rasa rindu yang selama ini ia sembunyikan. Dan aku sangat tahu saat ini ia terjebak dalam kerapuhan yang mendalam. Sudah bertahun-tahun ia berdiri tanpa kasih sayang wanita yang melahirkannya.
Aku sudah tak tahan melihat wajahnya yang kian sendu dan matanya yang terus mengeluarkan air.. kemudian aku menghampirinya. Senja hari semakin larut, Matahari kian meredup. Kugenggam tangannya dan kutatap wajahnya. Lalu kurengkuh pula bahunya dan kubiarkan ia terisak dalam pelukanku tanpa ada seka diwajahnya yang lugu itu.. aku hanya bisa berharap pelukanku dapat mengatasi rasa rindunya walau kutahu itu sia-sia saja. Kuharap aku juga bisa menyeka kesepiannya itu dan membuatnya tertawa ceria lagi di suatu hari nanti. “Tetaplah kuat, dan tetaplah tersenyum sahabatku...”