Aku
rasa kini aku sudah gila. Yah cukup gila untuk seorang manusia yang mengobrol
dengan sebuah cermin didepannya. Cermin itu tak lebih dari cermin oval biasa
dengan bingkai berwarna keemasan disekelilingnya. Terpantul jelas bayanganku
didalamnya. seolah-olah aku merasa mempunyai saudara kembar dan mengobrol
dengannya. Lucu bukan?
“Hai
apa kabar diriku disana? Baik-baik sajakah kamu? Aku rasa begitu. Disanakan
tidak ada cinta seperti disini. Tapi.. Tunggu, mengapa wajahmu sama lelahnya
seperti aku? Mengapa raut muka mu menggambarkan sesosok lelaki yang seolah
kehilangan semangatnya? Oh tidak janganlah begitu. Jangan menjadi seperti aku..”
Kemudian
suasana terasa hening. Hanya aku yang menunduk tanpa berani menatap cermin itu
lagi. Karena kutahu jika aku menatap cermin itu maka aku akan melihat seorang
lelaki dengan tangisnya. Dan itu adalah hal yang paling memuakan untuk kulihat.
Menit-menit berlalu kuberanikan diri untuk menatap cermin itu lagi.
“Hai..
apakah kamu baik-baik saja? Sepertinya matamu sembab? Apakah kamu baru saja
menangis? Tidak janganlah menangis..”
Kupegang
wajahnya, namun terhalang oleh tangannya yang juga memegangku. Aku hanya
berusaha mengusap pipinya dan menyeka air mata itu. Namun hal itu sia-sia.
Kemudian berkata lagilah aku.
“mengapa
kamu menangis? Apakah kamu juga mengerti cinta yang sedang kurasakan? Jika
begitu mungkin kita sama. Aku ingin sekali bercerita masalahku. Tapi rasanya
kamu memiliki masalah yang sama beratnya denganku”
Aku
sekarang merasa sedikit tak sedih lagi, bukan-bukan. Bukan karena masalahku
yang berkurang namun aku merasa tak sendiri lagi. Aku memiliki teman yang sama
seperti aku. Dia ada di cermin. Aku tak tahan rasanya ingin menceritakan apa
yang sedang kualami padanya. Lalu berceritalah aku.
“mungkin
kau tak mau mendengarnya, tapi hanya kau satu-satunya teman yang mengerti
masalah yang sedang kuhadapi. Dulu hingga sekarang aku telah menyayangi
seseorang. Dan sepertinya dulu hingga sekarangpun dia menyayangiku juga. namun
akhir-akhir ini semua terasa berbeda...”
Aku
menghentikan ceritaku sejenak.. Aku masih merangkai kata apa yang ingin ku utarakan,
agar dia tak salah mengerti nantinya..
“..Mungkin
iya aku sering mengecewakannya. Tapi bukannya aku sombong kadang aku mengoreksi
diriku sendiri tapi entah dari mana kesalahan itu berasal yang menyebabkan dia
kecewa. Bukan lagi aku sombong atau pamrih.
Tapi kadang akupun ingin dilihat, bagaimana cara perjuanganku,
pengorbananku dan pemikiranku tentangnya.. pernah suatu ketika diminggu aku tidak bisa
bertemu dengannya. Dan lagi-lagi dia kecewa.. padahal akupun sangat amat ingin
bertemu. Namun aku manusia biasa. Aku juga mempunyai kendala. Aku tak menuntut
dia untuk mengerti tapi pahamilah..”
Aku
menghela nafas sejenak. Mengambil nafas cukup panjang untuk berhenti disalah
satu titik nyamanku. Dan kemudian melanjutkan cerita panjangku ini.
“Lagi-lagi
bukan aku mencoba membandingkan diriku. Tapi aku selalu berusaha memahami
kesibukannya dan perilakunya tiap malam hari. bukan lagi aku memahami tapi aku
sudah menolerir perilakunya itu. Lalu kenapa tidak denganku. Aku hanyalah
seorang manusia yang lahir di Bumi. Seorang lelaki biasa, aku juga ingin
dipahami layaknya aku memahaminya. Sungguh aku masih menyayanginya, namun
kata-katanya yang selalu merasa terkecewakan olehku membuat...”
Tak
mampu lagi aku menatap dan berbicara dengan cermin itu. Wajahnya semuram malam.
Dan matanya yang kosong tanpa harapan terus menatapku balik. Tapi aku harus
meneruskan ceritaku. Yah aku harus meneruskan cerita ini.
“.. Aku
merasa seperti orang yang tak lagi berguna. Tak bisa membahagiakan dia dan
selalu membuatnya kecewa. Dia memang layak untuk dicintai. Sayang. Sayang
sekali aku mencintai seorang malaikat tanpa cacat cela.. tak seperti aku. Heiii tunggu . mengapa kamu
menangis? Jangan menangis kumohon“
Aku tak
suka melihat cermin itu menangis. lalu tanpa sadar kugenggam tangan ini dan
kuarahkan tepat kewajahanya. “PRANGGGG!!!” tepat sesaat sebelum cermin itu
retak kulihat tangannya mengepal pula dan mengarah tepat kekepalan tanganku.
Seperti itulah bayanganku saat ini. Retak dengan darah disekitarnya.
Suasana
semakin kelam, hening dan terpaku. jauh dilubuk hatiku terjatuh ia dalam bersama
mimpi tentang cinta dan sejenisnya. Dan masih tersimpan rapat pula sebuah cinta
hangat dan dirinya didalam situ.