Hari ini adalah hari yang paling kubenci. Dari semua
hari yang berlalu-lalang menyapaku. Ini adalah hari dimana aku hanya ingin cepat-cepat
melewatinya. Sabtu. Enah karena apa aku membenci hari dimana sepasang muda-mudi
asik memberi waktu dan kasih. Aku muak. Sangat muak. Mengingat semua orang
hanya asik merangkul kasih diatasku. Aku jijik melihat mereka yang selalu
berkata “Aku takakan bisa hidup didunia tanpamu..” entahlah, mereka itu manusia
atau kuda? Hidup dengan berkaki empat!
Aku
merasa bangga terkadang. Aku mampu berdiri sendiri dan tegar. Aku merasa
seperti sebuah karang yang tetap tegak walau terhempas ombak. Walau hanya saja
aku terlampau seperti karang. Tegar namun kosong, terlampau banyak rongga yang
kumiliki.
Seringkali
aku mencari kesibukan, namun tetap saja kesibukan itu tak akan bisa menyapu
hampa dalam diriku. Kucoba untuk menulis, tetap saja masih terasa hampa. Aku baru
mengerti, sepi itu menyakitkan. Aku coba memejamkan mata, mulai berimajinasi
dan lainnnya.
Aku berlari namun tak sendiri. Aku tak lagi
menggandeng udara. Kini ada seseorang yang menggenggam tanganku. Aku taklagi
tersenyum pada ccermin. Kini ada senyum hangat yang tertuju hanya padaku. Ya,
hanya padaku. Aku tak lagi tertawa akan televisi, aku tak lagi membungkap
mulutku kini ada kebahagiaan yang tak henti-hentinya dapat kubagi. Biasanya aku
dan waktu berjalan seorang diri, kini waktu dan aku mampu merengkuh dan
berpelukan bersama tanpa takut sepi. Biasanya aku hanya mampu menutup mata
karna takut, kini aku membuka mata.....
Ternyata sama. Ketika
aku membuka mata hanya ada sepi dibalik kelambu kosong kamar ini. aku merasa
sakit lagi. Entah karena apa. Kini ide gila berkerumun di otakku, mencoba
menjadi salah satu bentuk nyata yang harus kuwujudkan. Aku harus membunuh hati
ini, agar aku tak merasa sepi lagi. Tapi bagaimana?
Bukankah
aku harus mati? Agar aku tak merasa sakit lagi. Yah aku harus mati. Tanpa pikir
panjang, hal paling irasional itu harus menjadi rasional secepatnya. Aku keluar
kamar aku meminta maaf kepada kedua orang tuaku, dan cepat-cepat aku memasuki
kamar kembali.
Kugantungkan kain yang cukup tebal yang sudah
kulilit sedemikian rupa sehingga menjadi tali. Kuniki kursi dibawah tali itu. Sejenak
aku terdiam, air mataku mengalir. Aku terharu karna akhirnya aku bisa menemukan
cara menghentikan rasa sakit itu. Dengan senggolan sedikit kekursi itu dan
kursi itu jatuh..
Semakin
berat dan semakin sesak rasanya. Aku hanya mampu memejamkan mata menikmati
rasanya. Kudengar suara pintu kamarku diketuk dengan keras. Aku hanya
memejamkan mata. Menghirup udara semampuku, merasakan. Beginikah rasanya
berpisah dengan dunia fana. Kesadaran makin menjauhiku. Sayup-sayup kudengar
pintu itu didobrak. Yah hanya terdengar sayup.
Kubuka mata sedikit
walau sebenarnya berat. Kulihat ayahku berteriak dan menghampiriku, kulihat
ibuku menangis tak karuan dengan mulut berkomat-kamit menyebutkan namaku..
tunggu siapa itu? Seseorang memandangiku dengan tatapan kosong. Aku tak
mengenalinya. Ia kemudian menyeringai disudut kamarku. Tiba-tiba kesdarankku
seperti berlari semakin jauh, semakin jauh. Aku tak mampu lagi membuka matakku,
aku tak mampu lagi mendengar. Selamat tinggal ayah, selamat tinggal ibu...
Kekosongan
itu menyesakkan, Kehampaan itu mematikan.